Sabtu, 26 Februari 2011

takusahadajudul

aku bukannya takut meninggalkan kenangan, namun kenangan itulah yang kularang untuk meninggalkanku. seperti semua mimpi-mimpi masa depanku yang sampai saat ini masih mengatupkan mulutnya kepada manusia, termasuk kedua orangtuaku.
apa yang ingin kuceritakan pada yang mengeja huruf-huruf ini bukanlah kisah seorang sukses yang berangkat dari nol dan tanpa membawa apa-apa, tapi ini adalah curhat umum. ya, benar, ini adalah curhat umum. yakni ketika hati masih membayangkan mimpi tentang suatu saat nanti sang penulis bisa berkumpul bersama keluarga. ya, sekali lagi, benar. bagi sang penulis, berkumpul dengan keluarga adalah mimpi yang sangat memanjakan imajinasi. yakni mimpi bahwa suatu saat nanti, saat membuka pintu rumah dan menemukan ayah, ibu, kakak, paman, dan bibi, dari pihak ayah maupun ibu, berkumpul dalam satu ruangan...serta kakek dan nenek menyambut lalu sang penulis mendengarkan nasihat dari mereka... meskipun statement ini, adalah berkemungkinan nol. Kakek dan nenek dari pihak ayah dan ibu telah meninggal. beberapa tahun lalu yang aku telah lupa jika harus menuliskan angkanya. keluarga yang lainnya masih lengkap, namun semuanya telah tersebar. ada yang merantau hingga ke negeri seberang.
tiba-tiba saja mimpi itu ada...
bertemu dengan saudaraku, yang hanya setahun 2 kali, sejak beberapa tahun yang lalu...
dan keluargaku yang tak lagi pernah kusenyumi satu-persatu sejak 3 tahun yang lalu...
dan seorang sahabat yang tak lagi kutahu kabarnya sejak 5 tahun yang lalu...(mungkin ia tak lagi mengingat 24 September 2006)



Bintang pun menceburi mimpimu,
saat lelap menyelimutimu
dan kau melihat wajahnya tersenyum
dan tangannya gugup menggenggam angin,
menanyainya akanmu,

Sabtu, 05 Februari 2011

"Pitau" Nama Pematang Sawah Itu

Written by Adamry Muis 

Ri Sulawesi, mana' mita galung temmaka loang...
Paggalunna maka roa, pole tassiddi kampong...
Sebuah petikan lirik lagu dari tanah bugis, yang jika didalami arti dan maknaya maka akan terbaca sebuah gambaran menarik tentang fenomena SAWAH dan PETANI di kepulauan Sulawesi. Sejatinya memang hamparan sawah dan dunia bertani di Sualwesi bukanlah sesuatu yang sangat susah untuk ditemukan.. bahkan didaerah jalan utama poros Sulawesi yang menghubungkan beberapa provinsi serta kabupaten hamparan sawah masih menjadi pemandangan yang sangat menarik, menariknya bukan berarti tidak adanya "perkembngan" dalam pembangunan tapi lebih ke kemampuan serta kesadaran para masyarakat untuk tetap memelihara kultur yang ada namun tetap menjadikan pembangunan di daerah sebagai suatu keharusan.Maka aku bangga jadi anak desa di salah satu pinggiran Sulawesi..

Hiruk pikuk kehidupan kota memang sering membuat kita merasa terpasung dalam suatu dimensi waktu dan kondisi tertentu, merasa jenuh atas rutinitas keseharian dan kadang pola kehidupan yang hadir sendirinya memancing suatu keinginan untuk lepas dari pasungan tersebut. Bagi kita yang sejak lahir dan sampai sekarang ini berada dalam kondisi seperti itu haruslah bertanya dalam hati, bahwa adakah suatu tempat yang lebih bijak dalam memaknai hidup ketimbang suatu tempat yang menyediakan segalagalanya yang diinginkan..??, dan juga buat kita yang lahir dan besar di daerah pedesaan dan sekarang berada disuatu tempat yang berlebel kota perlu juga mempertanyakan bahwa tidak terbersitkah dalam diri kita sebuah “kerinduan” akan suasana masa kecil di daerah pedesaan yang kadang memanggil kita untuk menyambanginya..?

Desa pada dasarnya identik dengan hal hal yang bersifat klasik dan jauh dari kemajuan pembangunan, hamparan sawah, jalanan tak beraspal, serta SDM yang tersedia masih sangat terbatas dalam segala hal. Ketika kolam renang sudah menjadi pilihan, mereka masih berkutat dengan sungai-sungai yang menawarkan kemungkinan buruk untuk manusia manusia desa itu sendiri.

Namun bagi kami anak anak desa, ada sesuatu yang sangat menyenangkan disana, hamparan hijaunya sawah dan eloknya aliran sungai yang deras menjadi kesenangan tersendiri bagi kami. Ketika kepenatan melanda (meski tak mengenal arti kepenatan), hanya dengan modal kemauan maka kaki kaki kecil kami bergerak, melangkah, berlari, dan seakan terbang bersama canda tawa kawan kawan, menerobos ruang kemacetan yang memang tak kami kenal, melewati segala penghalang kebebasan yang menghadang kami untuk bergerak semau kami.

Rentetan pematang sawah atau yang biasa kami sebut dengan (Pitau)pun menjadi jembatan penghubung setiap kami berlari menuju kesungai tempat rekreasi kami, tak ada yang lebih menyejukkan ketika tiupan tiupan angin melawan arus tubuh kami yang berlarian diatas pitau itu, dan tak hanya tubuh kami yang mereka sejukkan. Padi padi yang berbaris dihamparan hijaunya sawah pun ikut berlari kesana kemari bersama kami.

Pematang sawah yang sejatinya menjadi pembatas dalam petakan sawah, ternyata tak membatasi ruang gerak kami dalam beraktifitas, justru menjadi penyemangat sekaligus jembatan dalam meraih segala hal, memberikan kesejukan ketika kami berdiri dan membentangkan tangan, sehingga menjadikan kami tetap kokoh dalam persahabatan, dan suatu saat kami bermimpi untuk tetap berdiri di atas pitau itu lagi sambil memandang kedepan, tertawa, mengingat masa kecil dipedesaan yang jauh dari romansa kesuntukan.
Impian yang tidak hanya sekedar mimpi dan tidak hanya sekedar harapan tapi menjadi sebuah kewajiban untuk kembali membesarkan kampung halaman, meski jasad tak berpijak disana.

Ku akhiri dengan petikan lirik lagu kebangsaan daerahku..

Wanukkau Sidenreng Rappang..
Wanua ancajiakku, wanua alebbirekku, wanua alebbirekku..
Ri Sidenrengngga' ri pancaji, Ri sidenrengga' ri pawekke..
Mamuare na mannennungeng tuo ku ri Sidenreng Rappang..


Dedicated to My Country : "Kadidi"
(Malang, 290410)