Senin, 12 September 2011

Karena ini untukNya dan untukmu serta mimpimu, Ibu

Assalaamu'alaykum Ibu,
ananda sekali lagi menulis surat yang mungkin tidak kan pernah kau baca hingga surat ini usang dan menjadi tulisan nostalgia yang membuatku tersenyum lega atau menangis haru saat membacanya nanti, semoga.

Kau bilang, kau pernah punya mimpi, Ibui. Dan aku datang sebagai orang yang engkau percaya mampu menyambung mimpimu itu...
aku tahu itu Ibu. Tapi anehnya aku lebih sering lupa...

                                                                         ...

Tahukah engkau, ada hal aneh yang sering dilakukan anakmu ini di kelas, ketika dosen wanitaku menerangkan di hadapanku. Tahukah Ibu, aku iri melihat jari-jari kecilnya yang mungil dan putih meski usianya tak lagi muda. Tahukah mengapa aku melihatnya Ibu?, aku iri...iri...bukan, bukan iri, aku sedih, sedih mengingat jari-jarimu yang tak sehalus mereka, wajahmu tak semulus mereka, dan tubuhmu tak sewangi mereka...Tahukah Ibu, engkau, sang wanita pekerja keras yang telah mebiayaiku, membantu mengenyangkan perut kami anak-anakmu, merawatnya ketika sakit, memeluknya ketika lelah dan ketakutan, menenangkannya ketika gelisah, memberinya apa-apa yang ia inginkan dari kecil hingga kami dewasa dan menjadi penuntut, memilihkan makanan yang baik-baik untuk kami,...Ibu, itulah seharusnya yang kau lakukan, hanya itu Ibu, semua itu telah cukup memberatkan punggungmu... tapi, demi masa depan yang engkau ingin saksikan pada kami, kau bantu ayah, kau yang mengambil alih pekerjaan dan bertarung dengan waktu...masya Allah... maka bagaimana aku ini Ibu..?bagaimana? jika seorang anak tak akan pernah mampu membalas kebaikan ibunya yang melahirkan dan merawat, bagaimana denganku, yang engkau nafkahi....semuanya....,sungguh Ibu, bagaimana denganku....? jujur, aku malu jika harus lewat di hadapanmu, aku malu menjadi gadis duapuluh tahun dan belum memberi apa-apa untukmu..., dan tahukah Ibu, aku sangaaat takut saat melihatmu terlelap, ya, aku sangat takut, aku melihat wajah polos itu, wajah polos dengan mata terpejam, menjadikanku takut...kalau-kalau besok aku tak melihatnya tersenyum lagi, wajah itu tetap menjadi polos, selamanya... aku sangat takut. Tahukah Ibu, pada waktu itu, aku akan berdoa padaNya hingga aku tidak bisa terlelap hingga sepertiga malam terakhir...aku hanya ingin wajah lugu itu membuka mata dan tersenyum. Mengapa aku sangat takut Ibu? tidak lain karena baktiku padamu masih berupa menyiduk air laut dengan jaring kecil, hanya sedikit....apalagi dikurangi lagi dengan kesalahanku yang hanya ditambal taubat yang setengah-setengah..

Ibu, jika ingin kutuliskan semua dalam satu surat ini, maka aku tidak yakin bisa kurang dari satu eksemplar buku. Maka sekian dulu dari anakmu Ibu...anak yang belum benar-benar berbakti, masih jauh dari berbakti.....sebab kurasa tak cukup suara lembut itu, senyum itu, masih ada Ibu, masih banyak yang harus aku lakukan....masih banyak, aku pinta doamu Ibu....



Dan engkau bilang, kau pernah punya mimpi, Ibu; menjadi seorang pegawai negeri, seorang guru madrasah. Dan aku datang sebagai orang yang engkau percaya mampu menyambung mimpimu itu...
aku tahu itu Ibu. InsyaAllah aku akan mencoba mengalahkan lupaku....

oh iya Ibu, tahukah...aku sebenarnya punya mimpi masuk ma'had selepas SMA, tapi engkau ingin aku masuk jurusan bhs.Inggris atau kedokteran, di universitas ternama, maka insyaAllah aku jalani mimpimu ini... sebab engkaupun telah banyak berkorban untukku....
InsyaAllah, selepas di sini, ketika telah kuraih gelar S.Pd-ku, aku akan mencari jurusan pendidikan yang syar'i,agar bahasa Inggrisku tak kemana-mana, aku ingiiin sekali mengajar bahasa Inggris di ma'had....ingin sekali...agar calon-calon pembela Islam itu bisa memiliki ruang gerak yang lebih luas demi Allah dan da'wah dengan mampunya mereka berbahasa Inggris...semoga...


Rawamangun,
duabelasseptemberduaribusebelas

0 komentar: