Minggu, 17 Oktober 2010

Aku Ingin Pulang...


Kamis, 02-09-2010 13:54:37 oleh: Benget S. Simanullang
Kanal: Sastra


Aku ingin pulang. Seperti yang dilakukan orang-orang di saat menjelang lebaran. Aku rindu akan kampung halaman. Rindu kepada ibu, ayah, kakak, adik serta saudara-saudara yang kutinggalkan enam tahun yang lalu. Di kampung.
Mas, bagaiamana kehidupan di Jakarta? Kalo aku ndak salah tiap lebaran Mas Parto pulang toh ke kampung?”
“Yah, begitulah Din. Tapi yang jelas di Jakarta jauh lebih banyak kesempatan dari pada di kampung ini. Di sana apapun bisa kita kerjakan. Dan mendapatkan duit. Itu toh yang kita harapkan?”
Mas Parto sembari membuka dompet dan membayarkan kopi yang barusan kami teguk di warung dekat sungai, tempat di mana setiap pemuda berkumpul, apalagi di musim lebaran seperti ini. Para perantau akan menunjukkan taringnya masing-masing di sana, dengan berbagai gaya, entah itu kesombongan, atau hanya karena pola kehidupan dan tingkah laku yang sudah berubah setelah menjadi penghuni kota metropolitan, Jakarta. Mas Parto turut membayar kopi yang aku teguk pagi ini.
“Wah, terima kasih banyak telah membayar kopi saya, Mas.”
“Ndak usah terlalu begitu. Klo di Jakarta mah itu hal kecil.”
Kesombongan mulai tampak. Tapi walaupun demikian, aku semakin tertarik untuk mencoba ke Jakarta. Aku semakin terperangkap dengan apa yang Mas Parto utarakan mulai dari tadi pagi kami memesan kopi bersama, hingga waktu memisahkan kami. Aku harus ke ladang untuk membersihkan sebidang tanaman singkong, sedangkan Mas Parto akan pergi ke tempat di mana orang-orang berduit memanjakan diri mereka. Oh… alangkah nikmat hidup mereka. Akau semakin ingin ke Jakarta. Seperti Mas Parto yang hanya dengan modal nekat. Tanpa ijazah!
***
Kira-kira tiga hari kemudian aku bertemu lagi dengan Mas Parto, di warung kopi yang sama. Dengan gaya yang jauh berbeda dengan pemuda-pemuda kampung, dia bergabung bersama kami. Seperti biasa, dia akan membayar semua pesanan untuk kami, pemuda kampung yang hanya tinggal di kampung, yang di matanya tidak memiliki uang banyak. Memang benar, kami hanya memiliki uang pas-pasan. Namanya juga di kampung. Pendapatan tidak seberapa. Paling seminggu sekali mendapat uang dari hasil jerih payah yang sangat melelahkan satu minggu ini, dari hari Senin sampai Sabtu. Itupun hanya lembaran-lembaran puluhan ribu.
“Din…” Mas Parto mendekat ke arahku sesaat setelah teman-teman yang lain sudah pada meninggalkan warung, menuju ladang tempat mengais rezeki.
“Iya, Mas Parto!” kulihat di matanya ada sesuatu yang hendak disampaikan. Entah apa. Aku tinggal menunggu mulutnya terbuka untuk menyampaikan tujuannya.
“Kamu ndak bosan begini terus di kampung???”
“Maksud Mas Parto ini apa toh?”
“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Din? Apa kamu ndak ada niat merantau?”
“Ke mana Mas?”
“Yah ke Jakarta-lah! Di sana kamu ini bisa ngapain aja, dan semuanya bisa jadi duit, Din. Bukan kayak di sini, kamu tiap hari kerja tapi upahmu hanya dua puluh ribu sehari. Apa kamu pikir itu cukup untuk hidup kamu kelak? Kamu masih muda loh Din. Masa mudamu ini jangan disia-siakan. Mumpung masih muda kamu harus kerja keras buat masa depan.”
Mendengar perkataan Mas Parto aku semakin yakin kalau dia adalah seorang yang sukses di tanah rantau, Jakarta. Aku semakin ingin mengikuti jejaknya. Sebab aku tahu siapa Mas Parto yang dulu. Hanya seorang lulusan SMP dengan nilai yang pas-pasan. Tapi di mataku sekarang dia telah berubah menjadi seorang yang sukses. Entah apa pekerjaannya di Jakarta, yang jelas secara implisit dia selalu menggambarkan bahwa Jakarta memberi dia segudang kesempatan untuk meraih uang, suatu bentuk riil yang selalu dicari manusia.
Uang adalah segalanya. Jika orang tidak memiliki uang, niscaya mereka dapat melakukan apapun. Dengan uang segala sesuatu yang mereka inginkan dengan segera akan terkabulkan. Segalanya. Ingin bepergian, harus ada uang. Ingin beli sesuatu, harus ada uang. Bahkan di Jakarta, untuk kencing sekalipun, harus ada uang. Karena itu uang sangat berpengaruh dan manusia akan melakukan apapun demi mendapatkan uang.
Di TV, menjelang hari lebaran banyak diberitakan pencurian-pencurian dengan berbagai modus. Pengakuan mereka karena ingin membeli perlengkapan lebaran, tapi karena tidak mempunyai uang mereka nekat untun mencuri. Mereka rela menodai kesucian puasanya, yang telah mereka mulai dari awal puasa, satu bulan yang lalu, dan harus dikotori sesaat menjelang hari kemenangan yang fitri.
Ada juga yang berpura-pura membuka koperasi simpanan untuk persiapan lebaran. Orang yang tidak mengerti dan tidak menaruh curiga akan tindak kejahatan, mereka rela dan bersedia menjadi nasabah dengan diiming-imingi semua uang beserta bunganya akan diserahkan menjelang lebaran tiba. Antusiasme para calon nasabah terlebih karena ada ‘bunga’ yang akan diterima, lumayan besar, dalam waktu yang sangat singkat. Cerdas juga orang yang memulai usaha (penipuan) itu. Dan para nasabah-pun akhirnya tertipu. Uang mereka dari yang nominalnya kecil samapi besar, dibawa kabur oleh si pengelola yang tidak bertaggung jawab itu. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dan dengan demikian, dia telah menodai kesucian ramadhan.
Itu semua modus demi mendapatkan keuntungan sekejap tanpa memikirkan apa yang akan terjadi. Mereka melakukan itu karena tidak memiliki uang dan demi mendapatkan uang. Jadi, benar ungkapan yang mengatakan bahwa uang itu adalah segalanya.
“Kenapa kamu tiba-tiba berpikiran hendak merantau ke Jakarta, Udin?”
Si Mak dengan nada yang agak keberatan menginterogasi aku.
“Lebih baik kamu di sini saja bantu-bantu Mak kerja di kebon. Lagian Mak udah tua, dan butuh teman untuk mendampingi Mak. Bapakmu juga sudah sakit-sakitan. Mbakmu sudah pada kawin semua, hanya kamu yang tinggal yang kami harapkan bisa menjaga kami di sini. ”
“Udin mau cari uang yang banyak, Mak! Di Jakarta tempatnya!”
“Jakarta itu kejam, Din. Kalau kamu ndak punya apa-apa, kamu ndak bakalan dipake di sana. Dulu sudah banyak teman Mak yang terpaksa dipulangkan sama pemerintah karena di Jakarta tidak kerja. Mereka jadi pengemis dan pemulung. Ada yang jadi pengamen, ada yang jadi copet, ada juga yang jadi pelacur! Itu semua tidak mereka inginkan tapi keadaanlah yang membuat begitu anakku. Mak takut kamu juga akan menjadi seperti mereka jika kamu bersikeras pergi ke Jakarta untuk merantau.”
“Tapi Mas Parto bilang kalau di Jakarta kita bisa cepat mendapat uang, Mak! Udin juga ingin seperti Mas Parto. Punya banyak uang dan bisa membahagiakan ibu-bapaknya. Udin juga ingin buat Mak bahagia.”
“Mak sudah bahagia kalau bisa melihat kamu di samping Mak. Bagi Mak, uang bukan segalanya, Din. Kebahagian itu tidak diukur dengan uang.”
Mak menarik napas panjang.
“Kamu tidak lulus SMA, Din. Kamu hanya punya ijazah SMP. Di Jakarta sudah banyak yang sarjana. Pasti mereka lebih diutamakan untuk bekerja dari pada orang yang hanya lulusan SMP kayak kamu. Dan kamu harus tau, di Jakarta banyak sarjana yang menganggur, Udin.”
“Tapi Mas Parto juga hanya lulus SMP kan , Mak? Kenapa dia bisa sukses?”
“Kamu tau apa pekerjaan Parto yang sebenarnya di Jakarta? Dia pernah cerita tentang pekerjaannya?”
Aku menggeleng. Memang selama ini Mas Parto tak pernah ngasih tau apa pekerjaannya di Jakarta. Dia hanya menceritakan bahwa Jakarta lahan uang yang bisa membuat orang cepat kaya. Dia tidak pernah menceritakan kesusahan-kesusahan yang ada di sana.
“Di Jakarta kamu kerja apa, Mas Parto?”
Aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. Aku hanya ingin tahu saja.
Mas Parto terdiam. Dia memandangiku dengan tatapan tajam. Aku takut dia marah karena pertanyaanku itu.
Benarkah dia marah???
Aku agak merasa tenang setelah dia akhirnya tersenyum. Aku kini bisa bernapas lega. Sebab Mas Parto adalah seorang yang pemarah. Jika dia tidak senang dia akan memukul siapapun yang ada di dekatnya. Mungkin itu sudah diturunkan atas dirinya. Tapi yang jelas ibu-bapaknya tidak menyerupai karakter Mas Parto. Mungkin dari nenek atau kakeknya. Bahkan waktu SD dia pernah melemparkan penghapus papan tulis ke guru yang menuding dia sebagai tukang bolos dan tidak tahu apa-apa dalam pelajaran. Dan masih banyak kelakuan-kelakuan dia yang tidak terpuji sehingga harus berpindah-pindah sekolah. Karena itulah kami bisa sekelas dari kelas enam sampai lulus SMP, padahal rentang usia kami berkisar empat tahun. Intinya, dia seorang pemarah dan keras kepala.
“Kerjaan saya banyak, Din! Kamu akan kelak tau kalau sudah ada di Jakarta.”
Mas Parto tidak mau memberitahukan apa sebenarnya pekerjaannya di Jakarta. Yang jelas dia sibuk dengan pekerjaan yang banyak. Itu yang terlontar dari mulutnya. Apa dan bagaimana bentuk pekerjaan itu belum bisa tergambar di benakku sebab tidak ada gambaran yang dia lontarkan entah berprofesi sebagai apa.
***
Tahun 2003 aku tiba di kota Jakarta. Bersama Mas Parto yang telah menjanjikan banyak hal dan membuat aku seolah terhipnotis dengan cerita-cerita yang dia bacakan sewaktu masih di kampung. Bermodalkan seratus tujuh lima puluh ribu rupiah dan tentu dengan ijazah SMP, aku merantau ke Jakarta. Diberangkatkan dengan isak tangis Mak dengan ketidaksetujuannya atas keputusanku ini untuk mencari makan di kota orang, Jakarta.

Aku selalu ikut ke mana Mas Parto melangkah. Mulai dari stasiun Gambir hingga ke sebuah perkampungan yang jauh lebih menyedihkan dari pada kampung halamanku yang telah aku tinggalkan demi secerca harapan yang selalu menyibak pertanyaan, apakah bisa terwujud. Entah sampai kapan. Yang jelas suatu pertanda bahwa sekarang aku telah jauh dari Mak dan harus bisa mandiri di kota, yang kata Mak sangat kejam. Jakarta, apa yang bakal terjadi denganku???
Kami tiba di suatu tempat. Di sana sudah banyak orang yang tiduran dan sebagian hilir mudik entah sedang melakukan apa.
Tempat apa ini?
Di mana rumah Mas Parto?
Di sini?
Bukan! Ini bukan rumah.
“Ayo masuk!” Bagaikan tuan rumah yang baik dan ramah, Mas Parto membukakan pintu buat tamunya. Tapi saat ini tak ada pintu yang dibuka sebab tempat itu bagaikan ruang hampa tanpa pintu. Lembab dan tak bersahabat.
Ini adalah tahun ke enam aku tinggal di sini. Tak pernah pulang ke kampung bahkan saat Mak meninggal karena penyakit ganas yang dideritanya jauh sebelum aku meninggalkannya sendirian. Selama enam tahun ini aku menghabiskan waktu dengan bekerja. Memulung dari satu tempat ke tempat lain. Tak ada yang menerima aku bekerja seperti yang pernah Mak katakan sewaktu aku masih bersamanya, di kampung. Memang benar, para sarjana yang bahkan lulus dengan predikatcum laude masih banyak yang menganggur. Dari satu perusahaan ke perusahaan lain telah aku coba, dan tak satupun yang mau menerima aku. Dan koneksi juga tidak punya. Seandainya ku punya koneksi, aku yakin akan bisa bekerja sesuai dengan yang aku harapkan. Sebab sadar atau tidak sadar, budaya nepotisme masih merajalela di negeri ini. Entah sampai kapan.
Tak seberapa uang yang aku hasilkan dari pekerjaan itu. Hanya cukup makan dan minum dalam satu hari. Dan terkadang aku harus ngutang agar bisa bertahan hidup sampai detik ini. Aku mengerjakan pekerjaan yang di mata orang lain mungkin nista, tapi halal bagiku, sebab aku tak mau mengikuti jejak Mas Parto.
Lima bulan yang lalu Mas Parto ditangkap polisi karena dia membunuh seorang gadis yang tidak mau menyerahkan sejumlah uang dan perhiasannya saat gadis itu pulang dari tepat kerjanya. Ternyata dia seorang pencopet. Dan tidak segan membunuh jika ada yang menghalangi niatnya. Sudah sering dia membunuh dan baru kali ini ketahuan. Penjara menjadi rumahnya. Jauh lebih bagus dari rumah kami yang terdahulu, yang hingga kini masih aku tempati untuk bersinggah dari teriknya mentari di siang hari dan basah di waktu hujan meski tetap bocor terdapat di sana-sini. Inilah tempatku sekarang di Jakarta, kota idaman setiap orang mencari sesuap nasi, mulai dari orang berdasi hingga orang yang mendorong gerobak. Kota penuh teka-teki yang mampu menghalalkan segala cara oleh setiap orang yang merasa kalah dalam persaingan. Terjadilah kekerasan, penindasan hingga para konglomerat dan penguasa negeri ikut ambil andil dalam pemerasan, itulah korupsi. Bahkan yang memberantas korupsi, ikut korupsi. Mereka terjebak ke dalam karung yang hendak mereka bersihkan dari tikus-tikus yang memiliki gigi tajam membocori karung, sehingga mereka menjadi bagian dari tikus itu.
Sudah enam tahun aku di sini. Di Jakarta. Tanpa harapan bisa hidup menjadi lebih sejahtera. Mungkin ini adalah suratan takdir yang diberikan sang Khalik padaku. Namun sebelum kembali pada-Nya, hanya satu keinginanku yang sudah lama aku pendam dalam kemelaratan jiwa, yang entah kapan bisa aku penuhi.
Aku ingin pulang…
Dalam keheningan senja sebuah kamar kost
Ramadhan yang fitri
Jakarta, September 2009

0 komentar: