Rabu, 27 Oktober 2010

Wanita-wanita Syurga...(a part of Wanita-wanita Syurga Novel...)

kau temukan rindu saat senja,
ketika kicau-kicau burung yang tlah bermuara pulang bersuka cita,
ketika daun nyiur menari menyalami nelayan hendak melaut,
ketika percikan rona mentari terbias alam merias permulaan malam,
ketika hati menyeru nostalgia-nostalgia berhias tawa bahagia,
dahulu kala, saat raga masih di dimensi yang sama,
ah, sama… begitupun hatiku dengan rindu yang masih sama…
atau mungkin lebih parah…
(London, August 23, 2010. From Aisyiyah to her beloved mother)

aku melamun…, semakin larut…
malam itu hawa Eastcote, sebuah kota di tengah-tengah London, agak dingin.
Tiba-tiba…
“Teng teng teng…teng…teng… !!!”

J

am mendentang duabelas kali, bagai teriakan sirene yang menyuruhku tidur. Hatiku protes. Aku sudah sering terganggu oleh jam besar itu.  Tapi bagaimana bisa tidur?, sedangkan tumpukan kertas yang ada di depan wajahku masih sinis menantangku. Ia menguji nyaliku, sampai kapan aku akan tahan menghadapinya. Ah, sungguh, kertas-kertas itu ikut-ikutan menambah kesalku. Puas aku memandanginya,  kutorehkan wajah ke arah jendela yang tak jauh dari meja tempatku menjamah setumpukan kertas sejak sebulanan yang lalu, atau mungkin lebih tepatnya tempat tidurku akhir-akhir ini. Ya…, mengerjakan, mengoreksi, mengerjakan, mengoreksi. Itu-itu saja yang terjadi di meja itu. Dan semua itu paling ampuh meninabobokan aku. Apalagi jika membayangkan wajah dosen penguji yang akan kuhadapi, yang akan terus menyerocos mempertanyakan isi tumpukan kertas itu. Ah, kepalaku makin berat membayangkannya. Duhai tesisku…
Aku menggeser  kursi yang dari tadi kududuki, dan berdiri pelan. Aduh!, tulang-tulangku terasa ngilu. Capek sekali. Ingin sekali rasanya dimanjakan kalau sudah dalam kondisi seperti ini. Ingin sekali dapat manjaan dari seseorang yang lemah lembut. Orang yang aku selalu menyebutnya sebagai pahlawan. Seorang wanita yang tak sekedar luar biasa, tapi sangat luar biasa. ”Ibu,…”, “ibu…”, “ibu,…”. Tanpa sadar, aku terus mengulang kata itu. Dan, tak bisa aku pungkiri lagi, kerinduanku pada beliaulah yang mengantarku pada lamunan panjang tadi. Aku menarik nafas berat, lalu  menghembuskannya. Rindu itu benar-benar telah mengurungku selama berbulan-bulan. Rindu itu terus merangkulku. Sudah empat tahun. Wajah yang sumringah nan bijaksana itu tidak kutatapi lagi. Tangan nan pengasihnya tak kujabat lagi. Ya, empat tahun yang lalu, di Indonesia.
Aku mematung. Kembali menatap jendela. Kali ini tidak sekedar kusen-kusennya, tapi jauh menerawang ke luar. Pandanganku menelusuri gedung-gedung yang lampunya masih berbinar, kemudian pindah ke arah taman kota yang kira-kira 20 meter dari rent houseku. Di luar masih ramai. Memang beginilah london, sejak dulu sampai sekarang ramainya. Aku sedikit memuji London. Cuma sebentar, hatiku kembali bergejolak. Perlahan aku mendekati jendela itu dan menyentuh kacanya. Lumayan berembun. Jendela berukuran 1x1 meter yang dilengkapi kaca riben itu sepertinya akan menggigil bulan ini. Ia harus kuat menahan taburan-taburan salju yang mulanya seukuran butir gandum, sampai yang sebesar buah blueberry. Aku kembali menyentuhnya, dan segera menutupnya rapat-rapat. Setiupan angin sempat mengelus wajahku. Jilbabku sedikit terlambai. Aku buru-buru membenahinya.
Tak lama, setapak demi setapak langkah kecil terdengar tertata menuju ke kamarku. Aku hanya acuh. Tapi tiba-tiba suara itu langsung berganti jadi suara anak gadis. Jernih sekali....

bersambung...

0 komentar: