Sabtu, 06 November 2010

Wanita-wanita Syurga _lanjutan 2_...(a part of Wanita-wanita Syurga Novel...)

Hari minggu pagi. Suasana London sangat pas untuk sekedar berjalan-jalan santai, atau bercengkrama bersama keluarga di taman-taman kota. Tapi aku memilih menelusuri kota, mengunjungi mesjid kesukaanku. Sebuah mesjid yang terletak di sudut kota London, Regent Park Mosque. Mesjid ini selalu ramai dikunjungi warga muslim setiap harinya. Mereka sekedar singgah melepas lelah, liqo’, belajar tajwid, bahkan belajar qira’ah dan menghafal al-Qur’an. Tidak jarang pula mesjid ini menjadi saksi tergenggamnya hidayah oleh seorang yang terpilih oleh Allah untuk menjadi muslim. Hari itu mesjid agak penuh, tapi tetap tenang dan menenangkan hati bagi yang berada di dalamnya. Terlihat di pelatarannya banyak orang berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka ada yang belum berhijab, namun dari dekat jelas aku saksikan tiga wanita bercadar bersama suami mereka. Mereka tampak barsahaja. Tiba-tiba salah satu dari mereka menoleh ke arahku. Sekilas, pandanganku dan pandangan wanita bercadar itu bertemu. “Subhaanallaah… mata biru yang indah. Mata khas bule. Ya, seorang bule, lebih tepatnya wanita calon bidadari syurga.” Hatiku bergumam kagum. Aku memang selalu kagum pada wanita-wanita bercadar yang kerapkali kujumpai itu. Keyakinan mereka sangat teguh. Padahal, begitu banyak kecaman yang tentunya mereka peroleh. Apalagi sebagian besar mereka bukanlah asli Arab, tapi penduduk asli London. Namun keimanan mereka tidak kalah besarnya. Bahkan tidak sedikit yang sudah hafal al-Qur’an secara keseluruhan. Ini tentunya hal yang patut dihargai jika kita adalah seorang muallaf yang baru mengenal Islam. Bagiku sangat luar biasa. Aku terus memandangi wanita berpakaian serba hitam dan bercadar tadi sambil terus bertasbih memuji Allah. Maha Benar Allah dengan segala hidayah-Nya.
Tak lama, terdengar langkah kaki perlahan di belakangku. Seseorang memegangi tanganku. Jelas teraba tangannya yang lembut. Aku berbalik kaget. Ternyata Ukhtee Laila. Dia langsung merangkulku.
“Assalaamu’alaikuum…”
“wa’alaikumussalaam Sista Laila. How are you? Too long we have not met each other.”
“oh… fine, Sista… alhamdulillaah. Bagaimana denganmu?, aku harap kau juga sehat wal ‘afiat.”
“alhamdulillaah sama baiknya saat mulai mengenalmu, Sist. Subhaanallaah ya, Allah mempertemukan kita lagi. Ada agenda apa gerangan hari ini di mesjid?”
Ukhtee Laila semakin merangkulku. Dengan mudah dia melakukan hal itu, sebab tubuhku yang kecil. Aku harus sedikit berusaha untuk dapat berbicara padanya sambil memandang wajahnya. Aku jauh lebih pendek  darinya. Yah, hal yang wajar, karena aku orang Indonesia.
“Benar sekali perkataanmu Sist, Maha Kuasa Allah. Sebenarnya hari ini ada lecture dari Ustadz Mahmoud. Beliau seorang hafidz. Aku sangat senang akan ceramah-ceramah beliau. Kau akan memperoleh banyak hal darinya, dan dari ceramah-ceramahnya. By the way, did you come with your family?”
Aku agak tersentak mendengar ucapan terakhir ukhty Laila, seorang gadis London yang hafidzah itu menanyakan tentang family. Entahlah, family yang mana yang dia maksud.
“family…, what family, Sist? They are in Indonesia.” Tuturku agak gugup.
Laila tertawa kecil. Tampak gigi-gigi mungilnya yang putih teratur. Tawa kecilnya menambah pesona keindahannya. Hari itu dia benar-benar cantik, apalagi dipadu dengan gaunnya yang serasi dengan jilbab yang semuanya berwarna kebiru-biruan. Sangat cantik.
“I think you are out of the topic Sist. Maksud aku, your husband, even your children. Kau tidak mengajak mereka?”
Mata biru itu melekati pandanganku. Sepertinya ukhty Laila menyelidiki ekspresiku. Aku benar-benar gugup. Betapa tidak, itulah hal yang paling sakral namun belum juga kulaksanakan hingga saat usiaku menjelang 25 tahun ini. Menikah. Sudah banyak yang datang, namun di saat yang belum tepat. Saat itu aku masih mencari jati diri. Dan lebih pokoknya, mencari kehidupan yang lebih layak. Saat itu aku diam-diam menaruh ikrar pada sang Ibu dan ayah bahwa, meskipun aku anak perempuan, aku juga ikut bertanggung jawab untuk keluarga. “Aku akan membawa ibu dan ayah ke tanah suci, dari hasil jerih payahku sendiri,” nostalgia itu kembali menyibak ingatanku. Dan, hal itu sudah aku wujudkan. Alhamdulillah semua yang aku janjikan pada keduanya yang mulia itu, telah aku penuhi. Tapi, terkecuali satu hal, menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa menjadi istri yang baik bagi suamiku. Atau, makmum yang baik bagi imamku. Duh, perasaanku kembali teraduk-aduk. Tapi, aku segera bisa menguasainya. Aku buru-buru tersenyum kepada ukhty Laila yang sejak tadi dengan sabarnya menanti jawabanku, kemudian berucap. Pelan.
“hm… sepertinya Allah masih merahasiakannya, ukhty. Allah masih merahasiakan siapa hambanya yang akan menjabat sebagai imam keluarga dalam rumah tanggaku.”
“aku berharap Allah segera menyingkapkan tabirnya untukmu.”
“amiin. Barakallaah.”
“kita masuk ukhtee, lecturenya sudah mau dimulai.”
Ukhtee Laila mengulurkan tangannya padaku. Dia tersenyum. Dan aku menyambutnya. Tangannya terasa lembut tergenggam. Kami jalan beriringan masuk ke mesjid.
Di dalam mesjid sudah banyak akhwat yang duduk membentuk saf-saf. Ukhtee Laila mengisyaratkanku untuk duduk, sedangkan dia mau ambil wudhu dulu. Aku menurut.
Aku duduk di saf paling depan. Mesjid Regent park terdiri dari dua lantai. Para akhwat tempatnya di lantai bawah, jadi saf depan maupun saf belakang sama baiknya. Aku sudah duduk rapi, sambil memandangi desain interior mesjid yang luar biasa. Terlihat langit-langitnya membentuk kubah. Di tengah-tengah kubah terjulur lampu Kristal yang amat cantik, ibaratkan tertata berlian. Di sepanjang dindingnya terukir tulisan kaligrafi. Benar-benar mesjid yang membuatku kagum.
Monitor 40 inci yang ada di depanku menyala, kemudian menayangkan suasana di lantai atas, tempat  ikhwan. Mulai dari jama’ah sampai para panitia ceramah. Yang paling jelas ditayangkan, yaitu yang duduk di saf terdepan. Entahlah ada berapa kamera di atas. aku hanya acuh. pandanganku kembali menelusuri mesjid. Tiba-tiba monitor menayangkan seorang pemuda yang sedang naik ke mimbar. Wajahnya begitu bersinar, dan aku terpana. 

Ah, astaghfirullah… aku tidak boleh begitu...



0 komentar: