Jumat, 19 November 2010

ketika ia seharusnya dikatakan...

Senja itu dia mengenangnya kembali. Berangsur dia memungut kertas yang terlipat rapi di samping sebuah rak yang berdebu. Jari-jarinya gemetar, ia menggores kertas itu dengan pena kuno yang gagangnya terpahat deretan huruf emboss, “Key”. Sekali-kali ia mengernyit, mencoba mengulang-ulang apa yang akan ditulisnya. Lama, tak ada satu katapun yang keluar. Kertas itu masih kosong.

Ia beringsut. Kursinya sedikit digeser mendekati kusen jendela yang curtain-nya mengepak-ngepak dipermainkan angin. Ia menoleh ke arah pinus yang di sela-selanya jelas terlihat irisan-irisan sinar matahari.  Napasnya diiramakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas hangatnya angin sore menjelajahi paru-parunya. Pena yang ia genggam akhirnya dimain-mainkan. Dengan mereka-reka apa yang akan ditulisnya, pena itupun bergerak-gerak, tapi sekedar menulis di atas angin. Mulutnya ikut-ikutan berkata-kata, lirih. Setelah sibuk melemparkan pandangan pada pinus, lalu langit, ia merombak mimiknya. Matanya agak sedikit membulat dan berbinar, kepalanya sudah terisi ide luar-biasa. Ia menarik kertasnya lagi lalu di atasnya ia meletakkan tangannya yang menggenggam pena. Seperti melakukan aba-aba, ia mencoba menggores kertas lagi. Lama, kertas itu masih kosong.

Pelan-pelan pena yang digenggamnya bergerak. Sudah dua kata yang tergores, “kepada yang...”. Kata itu putus, menggantung. Ia seperti orang dungu saat memandangi kertas panjang itu. Ia kukuh ingin memenuhinya dengan sanjungan dan pujian, yang jika didengarkan maka ingatan pun seolah menanjak ke atas pelangi. Ia ingin menggoreskan denting-denting hujan yang membawanya pada suatu pertemuan yang menjadi sejarah utama dalam hidupnya. Ia ingin menuturkan panjang lebar mengenai suara yang pernah meringkus tubuhnya dalam sebuah alam imajinasi tak terhingga. Ia ingin melukiskan partikel-partikel merah jambu yang sudah menggerogoti salah satu organ tubuhnya, yang membuatnya hilang selera berhari-hari. Ia ingin bernostalgia akan kebahagiaannya yang tak terkata saat serah terima dilangsungkan. Tapi, ia tak bisa. Tetap tak bisa seperti dulu. Tak ada kata yang tepat untuk menjelaskan maksudnya. Ia tidak mau kalau kecerobohannya membawa petaka lagi.

Hening. Tiba-tiba bel berbunyi. Dari jendela yang sebaris dengan pintu, ia melihat seorang bapak paruh baya membuka tas slempang bututnya dengan tergesa-gesa, lalu menyelipkan sekeping amplop di tatakan lampu di samping kanan atas pintu.

Ia beranjak melihat sekilas, lalu berjalan gontai membuka pintu dan menarik surat itu. Ia membalik-baliknya. Tanpa nama pengirim. Wajahnya memasang mimik kesal. Ssrret!!!,  ujung amplop surat itu langsung dirobek, hampir saja lipatan kertas di dalamnya ikut robek. Ia membaca dengan tenang. Lagi-lagi ia bersungut, ah! Tanpa sapaan, tanpa salam, surat macam apa ini!

Setelah matanya menelusuri kata-kata awal dari surat itu, ia tercengang, “ini lebih mirip puisi!”. Namun, belum selesai ia membacanya, ia seolah tersinari keajaiban. Ia langsung berlari ke arah meja kayu jati yang ada di pojok ruang tengah, yang dari tadi ditempati berlaga dengan kata-kata yang tak kunjung keluar. Langsung ia abaikan surat itu, lalu ia sambar pena dan menggores kata demi kata di atas kertas tadi, tanpa henti. Wajahnya terlihat begitu bersemangat, seperti telah menang lotre.

Enam puluh menit berlalu, akhirnya penanya berhenti bergerak. Kertas yang kini penuh goresan dipelototinya berkali-kali. Ah, sumringah wajahnya. Ia begitu puas. Dibaca dan dibaca lagi, ia tak mendapat cela dari susunan kata-katanya. Sangat indah. Senyumnya mengembang, lirih, “ah...pasti dia luluh. Pasti dia mengizinkan aku kembali

Semangat dan keyakinannya benar-benar memuncak.

Tapi, ia cukup penasaran dengan isi surat yang telah memberinya inspirasi itu. Diraihnya lagi dan dibaca.  Kata demi kata.

Tiba-tiba hujan lebat menghantam, disusul petir yang bersahut dengan pepohonan yang bergesekan karena angin kencang. Plakk!!!Pintu jendela menutup tiba-tiba.
Akhir dari surat itu ikut menghantamnya, bukan badannya, tapi lebih parah, hatinya.

mas taufan, tujuan surat ini tak muluk-muluk,
Sekiranya hatimu masih menaruh harap untuk rujuk, maka tidaklah ia berdosa,
Dosamu mungkin hanyalah ketakmampuanmu mengatakan cinta pada tempatnya,
Dan..., sekedar kusampaikan tanpa ada maksud melukai,
Bahwa insyaallah hari senin, minggu depan, aku tak lagi menyandang status “wanita ditinggal cerai”...
Mas harun, sahabat kita sewaktu sekolah dulu, telah resmi meminangku,
Dan kami akan menikah di hari itu...
Kuharapkan kedatanganmu, dengan cinta yang tetap utuh, namun dalam bentuk yang berbeda,

Yang pernah mencintaimu, keyla zahnisa”.

Surat itu jatuh. Sementara kertas yang sudah bertabur kata-kata indah tadi kini tergeletak kusut di atas meja. Jendela di depannya perlahan terbuka. Hujan yang semakin deras memaksa masuk ke dalam. Satu-satu airnya meluncuri kertas tadi, mempermainkan tinta pena yang sudah terukir jadi kata-kata yang usang tak berguna. Tulisan itu telah mati. Seperti kata-kata yang terlalu sulit disampaikan, tak berguna lagi ketika bukan masanya. Lalu kertas itu terbang, yang tersisa tinggal baris-baris tulisan yang luntur, tersapu hujan.

Seperti hatinya...

Ia bergumam,
mengapa dulu aku begitu sulit mengatakan cinta...ketika ia seharusnya dikatakan...





Fitriani Abdurrazaq

"jangan ragu tuk katakan cinta di saat , di tempat, dan kepada siapa yg  ia semestinya dikatakan..."

0 komentar: