Kamis, 22 Desember 2011

Saling Berbangga dengan Harta

By Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Kita paling tidak bisa lepas dari sifat yang satu ini. Jika memiliki harta berlebih, handphone yang smart, yang terlihat mentereng dan mahal, pasti  ingin sekali dipamer-pamerkan. Selalu berbangga dengan harta dan perhiasan dunia, itulah jadi watak sebagian kita.
Semoga Allah memberikan taufik pada kita untuk merenungkan surat berikut ini.
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8)
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, (1) sampai kamu masuk ke dalam kubur. (2) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), (3) dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (4) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (5) niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, (6) dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (7) kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu) (8).” (QS. At Takatsur: 1-8)
Saling Berbangga dengan Anak dan Harta
Inilah watak manusia saling berbangga dengan keturunan dan harta. Lihatlah bagaimana jika kita memiliki anak yang pintar, pasti akan dibanggakan. Begitu pula ketika kita memiliki harta mewah, sama halnya dengan hal tadi.
Ibnu Jarir menyebutkan tafsiran ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” dari Qotadah. Maksud ayat tersebut adalah seperti menyatakan, “Kami lebih banyak dari keturunan si fulan, atau keturunan A lebih unggul dari keturunan B. Kebanggaan itu semua melalaikan hingga mereka mati dalam keadaan sesat.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 598-599)
Yang dimaksud berbangga di sini adalah dalam harta sebagaimana tafsiran sebagian ulama. (Lihat Tafsir Ath Thobari, 24: 599)
Ibnu Katsir berkata, “Kecintaan terhadap dunia, kenikmatan dan perhiasannya telah melalaikan kalian dari mencari akhirat. Hal itu pun berlanjut hingga datang maut dan hingga di alam kubur ketika kalian menjadi penghuni alam tersebut.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 442)
Al Hasan Al Bashri berkata mengenai ayat di atas, “Berbangga-bangga dengan anak dan harta benar-benar telah melalaikan kalian dari ketaatan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 442)
Harta dan Kebanggaan akan Sirna
Berbangga-bangga seperti di atas sehingga membuat lalai dari ketaatan baru berhenti ketika seseorang masuk ke alam kubur.
Dari Qotadah, dari Muthorrif, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ” (sungguh berbangga-bangga telah melalaikan kalian dari ketaatan), lantas beliau bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى - قَالَ - وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
Manusia berkata, “Hartaku-hartaku.” Beliau bersabda, “Wahai manusia, apakah benar engkau memiliki harta? Bukankah yang engkau makan akan lenyap begitu saja? Bukankah pakaian yang engkau kenakan juga akan usang? Bukankah yang engkau sedekahkan akan berlalu begitu saja?” (HR. Muslim no. 2958)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِى مَالِى إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ
Hamba berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan.” (HR. Muslim no. 2959)
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ
Yang akan mengiringi mayit (hingga ke kubur) ada tiga. Yang dua akan kembali, sedangkan yang satu akan menemaninya. Yang mengiringinya tadi adalah keluarga, harta dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali. Sedangkan yang tetap menemani hanyalah amalnya.” (HR. Bukhari no. 6514 dan Muslim no. 2960)
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَبْقَى مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ وَالأَمَلُ
“Jika manusia berada di usia senja, ada dua hal yang tersisa baginya: sifat tamak dan banyak angan-angan.” (HR. Ahmad, 3: 115. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Al Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq menyebutkan biografi Al Ahnaf bin Qois –nama yang biasa kita kenal adalah Adh Dhohak-, bahwasanya beliau melihat dirham di genggaman tangan seseorang. Lantas Al Ahnaf bertanya, “Dirham ini milik siapa?” “Milik saya”, jawabnya. Al Ahnaf berkata, “Harta tersebut jadi milikmu jika engkau menginfakkannya untuk mengharap pahala atau dalam rangka bersyukur.” Kemudian Al Ahnaf berkata seperti perkataan penyair,
أنتَ للمال إذا أمسكتَه ... فإذا أنفقتَه فالمالُ لَكْ ...
Engkau akan menjadi budak harta jika engkau menahan harta tersebut,
Namun jika engkau menginfakkannya, harta tersebut barulah jadi milikmu. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 443)
Kenapa dikatakan harta yang disedekahkan atau disalurkan sebagai nafkah itulah yang jadi milik kita? Jawabnya, karena harta seperti inilah yang akan kita nikmati sebagai pahala di akhirat kelak. Sedangkan harta yang kita gunakan selain tujuan itu, hanyalah akan sirna dan tidak bermanfaat di akhirat kelak.
Sekali-kali Lihatlah Orang di Bawahmu
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,
أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي وَلَا أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي
Kekasihku yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya): (1) Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkanku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku. ...” (HR. Ahmad, 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)
Al Ghozali –rahimahullah- mengatakan, “Setan selamanya akan memalingkan pandangan manusia pada orang yang berada di atasnya dalam masalah dunia. Setan akan membisik-bisikkan padanya: ‘Kenapa engkau menjadi kurang semangat dalam mencari dan memiliki harta supaya engkau dapat bergaya hidup mewah[?]’ Namun dalam masalah agama dan akhirat, setan akan memalingkan wajahnya kepada orang yang berada di bawahnya (yang jauh dari agama). Setan akan membisik-bisikkan, ‘Kenapa dirimu merasa rendah dan hina di hadapan Allah[?]” Si fulan itu masih lebih berilmu darimu’.” (Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573)
Mengapa Mesti Berbangga-bangga?
Mengapa kita mesti berbangga-bangga, sedangkan harta hanyalah titipan.
Mengapa kita mesti berbangga-bangga, sedangkan harta yang bermanfaat jika digunakan dalam kebaikan.
Semua yang digunakan selain untuk jalan kebaikan, tentu akan sirna dan sia-sia.
Seharusnya yang kita banggakan adalah bagaimana keimanan kita, bagaimana ketakwaan kita di sisi Allah, bagaimana kita bisa amanat dalam menggunakan harta titipan ilahi.
Al Qurthubi pernah menerangkan mengenai ayat berikut ini,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7). Beliau berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa harta kalian bukanlah miliki kalian pada hakikatnya. Kalian hanyalah bertindak sebagai wakil atau pengganti dari pemilik harta tersebut yang sebenarnya. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya untuk memanfaatkan harta tersebut di jalan yang benar sebelum harta tersebut hilang dan berpindah pada orang-orang setelah kalian. ”
Lantas Al Qurtubhi menutup penjelasan ayat tersebut, “Adapun orang-orang yang beriman dan beramal sholih di antara kalian, lalu mereka menginfakkan harta mereka di jalan Allah, bagi mereka balasan  yang besar yaitu SURGA.” (Tafsir Al Qurthubi, 17/238)
Raihlah surga Allah, raihlah jannah-Nya. Itulah yang mesti kita cari dan kita kejar.
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا
Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikanSesungguhnya kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali.” (QS. Al Ma’idah: 48)
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة
Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.
Ya Allah, jauhkanlah kami dari sifat sombong dan membanggakan diri dalam hal harta dan dunia. Karuniakanlah pada kami sifat qona’ah, selalu merasa berkecukupan.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf –menjauhkan diri dari hal haram- dan sifat ghina –hidup berkecukupan-) (HR. Muslim no. 2721)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:
  1. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah.
  2. Tafsir Al Qurthubi (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an), Muhammad bin Ahmad Al Anshori, terbitan Dar Ihya At Turots, 1405 H.
  3. Tafsir Ath Thobari (Jaami’ Al Bayan li Ta’wili Ayyil Qur’an), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Maktabah Hijr.



@ Waktu barokah saat Allah memberi taufik menorehkan faedah, Ummul Hamam, Riyadh KSA, 25 Muharram 1433 H

Selasa, 20 Desember 2011

Aku bangga jadi anak desa


By Hani Fahrezi
Biasanya seseorang sedikit agak malu jika ditanya berasal dari mana, yang notabene orang tersebut berasal dari desa. Mulai sekarang hilangkan rasa malu dari dalam diri anda. Jadi anak desa tidak selamanya “kampungan” dalam arti ketinggalan dari segala hal bahkan termasuk kategori primitif.
Jika di suruh memilih, kebanyakan dari anda akan memilih kota sebagai tempat tinggal daripada desa. Dengan berbagai hala yang diperhitungkan misanlnya ketersediaan fasilitas publik, jika di kota telah tersedia bahkan terlalu cukup, sedangkan di desa yang serba belum ada, masih tradisional dan sebagainya.
Di sini saya akan mengubah persepektif anda mengenai desa. Pertama, kehidupan desa tidak seperti kebanyakan orang pikirkan. Kehidupan di desa sangatlah berbeda dengan di kota, masih kuatnya sikap kekeluargaan, toleransi, tolong-menolong, dan gotong-royong. Keadaan ini sangatlah nyata, ambilah contoh saat suatu keluarga akan mempunyai hajatan pernikahan anaknya, maka para tetangga akan bantu-membantu, mulai dari menyiapkan keperluan pernikahan sampai acara pernikahan di langsungkan. Tak harus berupa materi tapi tenaga dan pikiran juga sangat mendukung. Jika dibandingkan di kota ? saya percaya masih ada, namun prosentasenya sangat sedikit, kebanyakan orang kota menggunakan jasa “event organiser”, tak perlu capek-capek mengurus acara, tinggal bayar dan jadi. Sebenarnya yang saya tunjukan ini adalah perbedaan sikap yang mencolok antara orang kota dan desa.
Kedua, keadaan desa yang lebih nyaman untuk tinggal daripada kota, anda tahu kenapa ? yah memang tidak dipungkiri lagi keadaan di kota-kota besar tergambar jelas, gedung-gedung pencakar langit berdiri, polusi tak terkendali, lahan hijau telah disulap menjadi perumahan, apartemen atau pusat-pusat perbelanjaan. Bandingkan jika di desa, rata-rata setiap rumah mempunyai lahan luas untuk mendirikan rumah, dalam hal ini akan menimbulkan suatu kenyamanan yang mungkin susah untuk di dapatkan di pusat kota. Memang benar fasilitas apartemen sangat didampakan setiap orang, namun jika di banding menikmati pematang sawah yang hijau, sejuknya udara, pemandangan yang tak akan dijumpai di apartemen anda itu.
Ketiga, tinggal di desa itu dapat meningkatkan atau melatih diri anda, maksudya apakah di kota tidak ? bukan begitu, masyarakat desa dengan segala kekhasannya, mempunyai kekurangan maupun kelebihan. Masyarakat desa kebanyakan mempunyai rasa sensitif yang kuat, toleransi yang tinggi, dan jangan salah kebanyakan anak desa yang kadang di sepelekan ini juga dapat berprestasi seperti anak kota. Kembali lagi ke topik sebelumya, kenyamanan tinggal di desa itu tidak bisa dibeli dengan uang. Saya yakin para pemilik uang yang ber M an itu kadang bosen dengan hidup dan kadang mencari sesuatu yang hilang atau untuk mengobati jiwanya yang haus dengan rasa nyaman.
Saya tidak secara langsung menyuruh anda untuk berbondong-bondong mendirikan rumah, atau memindahkan apartemen anda itu ke desa, tapi yang terpenting adalah bagaimana kita saling menghargai keragamaan budaya dan kebudayaan yang ada di negeri kita ini, tanpa desa, kota akan sulit berkembang dan sebaliknya, jadi pada dasarnya kita ini saling membutuhkan satu sama lain.
Aku bangga menjadi anak desa, aku bangga dengan hidupku sekarang, walaupun aku ini anak desa, akan ku buktikan bahwa anak desa juga dapat berkontribusi untuk negara.
Salam hangat
Anak Desa

Sabarlah....

"Kesabaran. Kuncinya kesabaran," kataku mengulangi ucapan ibuku dari jauh sana. Ada banyak hal yang membuat seseorang berhenti sebelum garis finish, salah satu yang paling ampuh adalah kurangnya kesabaran. Wajar memang. Ketika kita melakukan suatu pekerjaan yang rutin, badan dan pikiran kita akan berputar-putar di sekitar itu juga. Apalagi kalau ada oknum yang mengekang dan hanya memberi sedikit lahan variasi dan inovasi. Siapapun akan mudah menyerah dan pergi. Lalu membangun alasan untuk menjaga muka. Lantas, di luar lingkaran itu, ia akan berteriak lega, "itu memang bukan jalanku, hakku untuk meninggalkannya!"

Oke, kembali lagi, tiba-tiba aku ingat nasihat salah seorang saudaraku yang begitu baik. Ia dengan pelan, seraya tersenyum, berbisik kepadaku, "Berdirilah, berjalanlah, lalu pelan-pelan berlarilah...! Kesannya kamu kok rela menyesal seumur hidupmu daripada bersabar selama 4 tahun?Banyak yang mendukungmu, yang mencintaimu, yang mendoakanmu siang dan malam... Kenapa kau tidak mengingat mereka? Jangan egois yah..."
Aku masih tidak bisa lupa kata-kata halusnya yang tegas itu. Dan aku bisa bernafas lega saat mengingatnya.







Semoga Allah menjaga semua orang-orang baik yang hadir dalam kehidupanku; ibu ayah kakak serta keluargaku semuanya, sahabatku, saudaraku, serta kawan-kawanku, serta kepada orang yang pernah bercokol setahun dalam hatiku yang seharusnya belum ia tempati (alhamdulillah, hanya di hati, tidak sampai diketahui ybs :D)
Kalian membentuk diriku.

Peluklah Yakinmu

Biarkan langit tahu kuatnya yakinku, pun yakinmu.


Peluklah keyakinanmu yang tiada berwujud itu,
genggam erat di hati dan tanganmu,
maka ia akan menghadiahkan sesuatu untukmu; yakni perwujudan dirinya, dalam rupa yang tiada pernah kau sangka sebelumnya...


duapuluhsatudesemberduaribusebelas
Di bawah langit malu-malu dan sembab

Minggu, 18 Desember 2011

Wanita Shalihah



Shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan Allah. Aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja bagi wanita yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri.

MULIALAH wanita shalihah. Di dunia, ia akan menjadi cahaya bagi keluarganya dan berperan melahirkan generasi dambaan. Jika ia wafat, Allah akan menjadikannya bidadari di surga. Kemuliaan wanita shalihah digambarkan Rasulullah Saw. dalam sabdanya,

"Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah". (HR. Muslim).

Dalam Al-Quran surat An-Nur: 30-31, Allah memberikan gambaran wanita shalihah sebagai wanita yang senantiasa mampu menjaga pandangannya. Ia selalu taat kepada Allah dan Rasul Nya. Make up- nya adalah basuhan air wudhu. Lipstiknya adalah dzikir kepada Allah. Celak matanya adalah memperbanyak bacaan Al-Quran.

Wanita shalihah sangat memperhatikan kualitas kata-katanya. Tidak ada dalam sejarahnya seorang wanita shalihah centil, suka jingkrak-jingkrak, dan menjerit-jerit saat mendapatkan kesenangan. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian intan yang penuh makna dan bermutu tinggi. Dia sadar betul bahwa kemuliaannya bersumber dari kemampuannya menjaga diri (iffah).

Wanita shalihah itu murah senyum. Baginya, senyum adalah shadaqah. Namun, senyumnya tetap proporsional. Tidak setiap laki-laki yang dijumpainya diberikan senyuman manis. Senyumnya adalah senyum ibadah yang ikhlas dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain.
Wanita shalihah juga pintar dalam bergaul. Dengan pergaulan itu, ilmunya akan terus bertambah. Ia akan selalu mengambil hikmah dari orang-orang yang ia temui. Kedekatannya kepada Allah semakin baik dan akan berbuah kebaikan bagi dirinya maupun orang lain.
Ia juga selalu menjaga akhlaknya. Salah satu ciri bahwa imannya kuat adalah kemampuannya memelihara rasa malu. Dengan adanya rasa malu, segala tutur kata dan tindak tanduknya selalu terkontrol. Ia tidak akan berbuat sesuatu yang menyimpang dari bimbingan Al-Quran dan Sunnah. Ia sadar bahwa semakin kurang iman seseorang, makin kurang rasa malunya. Semakin kurang rasa malunya, makin buruk kualitas akhlaknya.

Pada prinsipnya, wanita shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Rambu-rambu kemuliaannya bukan dari aneka aksesoris yang ia gunakan. Justru ia selalu menjaga kecantikan dirinya agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Kecantikan satu saat bisa jadi anugerah yang bernilai. Tapi jika tidak hati-hati, kecantikan bisa jadi sumber masalah yang akan menyulitkan pemiliknya sendiri.

Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, wanita shalihah tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia "polos" tanpa make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukkan hati orang-orang di sekitarnya.

Jika ingin menjadi wanita shalihah, maka belajarlah dari lingkungan sekitar dan orang-orang yang kita temui. Ambil ilmunya dari mereka. Bahkan kita bisa mencontoh istri-istri Rasulullah Saw. seperti Aisyah. Ia terkenal dengan kekuatan pikirannya. Seorang istri seperti beliau bisa dijadikan gudang ilmu bagi suami dan anak-anak.

Contoh pula Siti Khadijah, figur istri shalihah penentram batin, pendukung setia, dan penguat semangat suami dalam berjuang di jalan Allah Swt. Beliau berkorban harta, kedudukan, dan dirinya demi membela perjuangan Rasulullah. Begitu kuatnya kesan keshalihahan Khadijah, hingga nama beliau banyak disebut-sebut oleh Rasulullah walau Khadijah sendiri sudah meninggal.

Bisa jadi wanita shalihah muncul dari sebab keturunan. Seorang pelajar yang baik akhlak dan tutur katanya, bisa jadi gambaran seorang ibu yang mendidiknya menjadi manusia berakhlak. Sulit membayangkan, seorang wanita shalihah ujug-ujug muncul tanpa didahului sebuah proses. Di sini, faktor keturunan memainkan peran. Begitu pun dengan pola pendidikan, lingkungan, keteladanan, dan lain-lain. Apa yang tampak, bisa menjadi gambaran bagi sesuatu yang tersembunyi.

Banyak wanita bisa sukses. Namun tidak semua bisa shalihah. Shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan Allah. Aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja bagi wanita yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri. Tidak akan rugi jika seorang remaja putri menjaga sikapnya saat mereka berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Bertemanlah dengan orang-orang yang akan menambah kualitas ilmu, amal, dan ibadah kita. Ada sebuah ungkapan mengatakan, "Jika kita ingin mengenal pribadi seseorang maka lihatlah teman-teman di sekelilingnya."

Peran wanita shalihah sangat besar dalam keluarga, bahkan negara. Kita pernah mendengar bahwa di belakang seorang pemimpin yang sukses ada seorang wanita yang sangat hebat. Jika wanita shalihah ada di belakang para lelaki di dunia ini, maka berapa banyak kesuksesan yang akan diraih. Selama ini, wanita hanya ditempatkan sebagai pelengkap saja, yaitu hanya mendukung dari belakang, tanpa peran tertentu yang serius. Wanita adalah tiang Negara. Bayangkanlah, jika tiang penopang bangunan itu rapuh, maka sudah pasti bangunannya akan roboh dan rata dengan tanah. Tidak akan ada lagi yang tersisa kecuali puing-puing yang nilainya tidak seberapa.

Kita tinggal memilih, apakah akan menjadi tiang yang kuat atau tiang yang rapuh? Jika ingin menjadi tiang yang kuat, kaum wanita harus terus berusaha menjadi wanita shalihah dengan mencontoh pribadi istri-istri Rasulullah. Dengan terus berusaha menjaga kehormatan diri dan keluarga serta memelihara farji-nya, maka pesona wanita shalihah akan melekat pada diri kaum wanita kita. Wallahua'lam

By: Insan Kamil Kalimasada


Renungan Pagi ini


"... Anda kira mati itu berarti selesainya masalah? Anda kira hidup itu tidak akan dipertanggungjawabkan?!..." Seru dosen kami dengan logat Jawa yang kental.

Dalam hati saya bergumam, "benar kata teman saya, tidak akan ada yang hakiki di dunia. Yang hakiki itu adalah yang tersisa setelah yaumil hisab. Segala kesenangan akan dipertanggungjawabkan, segala kesulitan akan diperhitungkan."
                              ...........................................................................................

Pagi tadi, dalam perjalanan ke kampus, saya yang introvert ini mulai memikirkan hal-hal aneh lagi. Yah, saya memperhatikan hampir semua yang saya temui memakai tas, paling tidak tas kecil atau tas tenteng yang sederhana. Mungkin Anda berpikir, 'ada-ada saja tingkah saya ini. Gak punya kerjaan apa?' Sabar...
Begini, saya ingin sedikit berbagi cerita, saya itu jika bepergian, tidak akan pernah PD untuk tidak membawa apa-apa selain badan, maksudnya, bepergian tanpa bawa perlengkapan seperti uang, atau peralatan lainnya dalam tas. Rasanya seperti orang hilang. Bagaimana jika terjadi apa-apa, lalu begini..lalu begitu...dan mending kalau ada yang bisa dimintai bantuan, kalau tidak??? Hua....masyaAllah... 
Eh, tapi ternyata membawa sesuatu pun tetap tidak bisa percaya diri! Kalau hilang saat diperlukan bagaimana?I can't imagine it!


Baiklah,maksud saya begini, ini masalah duniawi lho... bagaimana kalau dihubungkan dengan akhirat? Setelah kita mati... dan ternyata kita tidak bawa apa-apa??? Kalau di dunia sih...mending, kita bisa balik lagi terus mengambil barang yang kita perlukan atau mencarinya di mana saja di sekitar kita. Kalau di akhirat?! No way to go gome, men!  Dan tentunya tak akan ada yang mau menyerahkan bekalnya sama kita!!! meskipun itu orangtua, saudara, atau kekasih kita!!! Ini aturannya! Kan kita udah ditempatkan di dunia buat ngumpulin bekal tapi kita lupa. Kita kira mati itu berarti kelarnya masalah. Padahal, betapa sedihnya...ternyata eksistensi kita setelahnya...itulah eksistensi yang hakiki, yang sejati. Apa-apa yang ada di dunia ternyata hanya bagaikan mimpi beberapa menit.

Di dunia, kita beli tas paling kuat, kita kumpulkan barang-barang yang banyak demi mencukupi kebutuhan kita dalam perjalanan atau di tempat kita akan berada nantinya. Tapi, untuk tempat setelah melewati fase mati, kita kok ogah-ogahan yah? kita sediakan tasnya, tas yang murah serta rapuh, dengan percaya dirinya kita sediakan logistik sederhana dengan alasan bakalan ada yang bantu jika berkekurangan, padahal perjalanannya akan sangat susah dan ingat! tak ada yang akan membantu kita selain apa yang kita bawa itu.


bersambung.....