Minggu, 24 April 2011

Suatu Hari, Tahun keduapuluh

Aku akan Lebih Kuat, Ibu

Aku telah berjanji dan akan berjanji lagi kepadamu. Menjelang pertengahan hari dalam lakon usiaku, aku ingin senantiasa mengingat apa-apa yang telah aku ungkap dan kubagi padamu dan untukmu. Aku tahu engkau tak pernah menunggu yang aku pernah ceritakan padamu, tentang mimpi-mimpiku, tentang khayalanku, tentang kita di sini di suatu awal pagi hingga senja nanti. Aku tahu engkau hanya setia mendekap harap untukku, untuk sedikit senyum dan cukup bahagia yang akan aku bawa hingga suatu ketika nanti aku kembali dan kita saling berbagi lelah; lelah menanti, lelah menyulam kisah di dalamnya, dari alun-alun hingga atapnya.

Ibu, aku akan selalu mensugestikan pikiranku tentang kata dewasa yang mesti aku pajang di dindingnya. Aku kini duapuluh, Ibu. Jujur, aku ingin sekali memelukmu, memanjakan diri dalam teduhnya pandanganmu, serta bercerita dengan suara kekanak-kanakan tentang dunia-dunia di bawah dan di luar ayunan yang aku telah turun darinya dengan segumpal kebanggaan.  Aku ingin berkata bahwa aku lelah dan aku selalu berdiri lagi hingga kau menampakkan wajah ceria dan bangga padaku. Dan aku ingin sekali membagi kisah yang memancing untuk melipat jalanku lalu pulang padamu dan berkata aku sudah tak kuat; atau aku akan menenangkan diri dalam kolom dekapanmu, dan tenang. Tapi aku tidak bisa dan tidak boleh. Aku tahu itu. Aku sudah duapuluh.

Tapi aku berjanji Ibu, aku sudah dan akan lebih kuat.

Kamis, 21 April 2011

Menulis(?)

Menulis itu...hanya butuh pikiran dan tangan yang akur, serta hati yang mau berbagi.

_Inklesspen_

Dari atas langit antara Makassar-Jakarta

Tidak pernah terbesit dalam firasat saya sebelumnya kalau perjalanan Makassar-Jakarta malam itu terbungkus rapi oleh banyak kisah. Penerbangan dengan pesawat dengan nomer **781 itu akan saya check-in dua kali, yah, check in sewaktu di bandara Sultan Hasanuddin dan check in dalam memori saya. Saking banyaknya kisah, saya tidak yakin kalau saya bisa menuliskan semuanya di sini. Kisah bermula sejak saya berangkat dari rumah tante yang berjarak tak jauh dari Sultan Hasanuddin airport, waktu itu sekitar jam 6 sore. Jalanan sudah agak macet dan suasana memang sudah cukup gelap. Saya sebenarnya agak cemas, kalau-kalau nanti ketinggalan pesawat hingga sepanjang perjalanan, saya terus-terusan bergumam, ah...kalau telatka’, hangusmi tiketku, mauja minta ganti uangku...apalagi suami tante menyetir mobilnya dengan amat sangat santai. Ya..sekedar berharap digantikan uangnya, padahal nda mungkin, nda ada jalannya kasian.

Tak seberapa lama, setelah melewati tol, akhirnya mobil berhenti tepat di depan bandara namun beberapa meter dari pintu masuk untuk check in. Saya spontan menarik koper saya yang beratnya luar biasa subhanallah menjauh dari mobil, menuju pintu masuk. Sejenak membalik badan lalu menyalami dan memeluk tante, nenek, dan ibu, sedangkan paman masih sibuk memarkir mobilnya. Karena terburu-buru, saya menarik koper lalu menunjukkan tiket kepada petugas bandara, dan masuk dengan sebelumnya memberi sedikit senyum untuk ibu dan sepintas senyum lebay kepada orang-orang(gak juga sih...). Eh, tiba-tiba ibu memanggil-manggil, ternyata ada yang kelupaan! Yah, saya berbalik lagi lalu mengambilnya dilanjutkan dengan berjalan santai masuk bandara. Melewati pintu pemeriksaan, tiba-tiba alarmnya(atau apalah namanya itu) me-nguing-nguing, alias bunyi!, wah wah, padahal saya tidak bawa bom(oops!), kayaknya sih pelakunya adalah kunci kosan yang meringkuk manis di balik saku dalam jaket saya, atau bisa juga karena HP. Maklumlah, detektornya agak sensi sama kedua benda itu. Mba berjilbab yang saya hanya setinggi bahunya langsung meraih alat pendeteksinya dan memeriksa saya. Makkumemeng... Tapi nda’ apa-apa ji...

Setelah koper dan tas saya melewati detektor tanpa nguing-nguing, saya langsung menyambarnya dan berjalan santai ke tempat check in, sebelumnya saya sempat mengikat koper, tak mau kejadian lama terulang lagi, saya terpaksa kembali untuk mengikat koper, padahal sudah check in! Sesampainya di check in desk, saya celingak-celingukan melihat monitor flight ke Jakarta yang labil, alias gak tenang, selalu gonta-ganti dengan Denpasar, tapi bagi saya itu tak jadi masalah, artinya di situ bisa check in untuk flight ke Dempasar juga. Nah...satu-satunya check in desk untuk flight ke Jakarta itu masih berstatus CLOSE! Nah lho?, padahal di situ udah ada mas-mas(eh bukan...tepatnya Daeng-daeng) yang duduk manis mempreteli komputer di depannya. Ya sudah...saya langsung mendekatinya, menanyakan nomer Hp, menanyakan alamat rumah n alamat facebooknya (STOP!,insyaallah saya gak ngelakuin yang macem-macem kayak gini. Hehe), saya tentunya langsung menyerahkan tiket saya dan dengan tenang Daeng itu langsung memeriksanya. Dan...!!! Dengan logat yang pelan(ukuran orang Makassar, logatnya sudah cukup pelan tawwa) dan masih kental dengan suasana Makassar(iyyo sa!Pantasmi itu) ia berkata, “Mba, ini penerbangan transit Denpasar ya mba. Jadi nanti mba ke Denpasar dulu trus dilanjutkan ke Jakarta, penerbangannya jam 8 ya Mba.” “what???!!!...boleh juga, itung-itung ke Bali gratis...cihui...!”(eits, tapi dalam hati doang kok ngomongnya...)  Dengan tenang saya tanggapi, “Mas, bukannya sewaktu saya membeli tiket, sama sekali tidak ada notifikasi, atau paling tidak... Ada konfirmasi dahulu-lah dari pihak Merpati bahwa tiket saya transit? Masalahnya saya tidak punya banyak waktu, dan bla..bla..bla... ” saya menjelaskan dengan panjang lebar sampai Mas-nya kebingungan, ya...saya nda rela, mau jam berapa saya sampai ke Jakarta? Coba saya punya banyak waktu, insyaallah saya iyakan. Lagipula, pihak maskapai penerbangn tidak boleh seenaknya main transit-transitan aja tanpa konfirmasi dulu. Dan setelah beberapa menit berlalu, setelah Mas-nya telpon sana sini, alhamdulillah...penerbangan saya tidak jadi transit, tapi konsekuensinya penerbangan saya dialihkan, dari **761 menjadi **781. Dan...setelah semuanya benar-benar komplit, Mas-nya menyerahkan berkas check in saya sebanyak empat lembar(kayaknya tidak pernah sebanyak itu sebelumnya, hm...kenapa yak?) Dan bergegas meninggalkannya dengan tak lupa menyerahkan koper saya untuk dibagasi. Awalnya sih, saya pasang gaya santai, tapi gak sengaja saya lihat jam boarding flight saya, astaghfirullah! Jam 19.10! Dan cantiknya...jam di hp saya menunjukkan angka 19.05! Tentu saya langsung tancap gas menuju ruang lounge tanpa nengok sana-sini lagi seperti biasanya...

bersambung....

Aku sadar

aku sekarang sadar, mengapa aku berubah, yah tiba-tiba motivasi menurun, itu karena aku terlalu menganggap berat setiap hal. aku tidak menerima diriku saat gagal, aku selalu takut mencoba karena takut gagal, takut memulai jika kondisinya menakutkan. yah, aku pengecut, berpikiran negatif, SUPER sensitif, memaksa agar dimengerti namun tak mau mengerti!!!  jawabannya, aku hanya tidak terbiasa gagal! dan kini Allah sedang ,mengajariku bahwa hidup itu tidaklah mudah, hidup itu sulit, menyakitkan dan penuh perjuangan. Aku harus menghargai usaha, menghargai hal kecil, dan memandang ringan segala masalah, dan bergerak lebih cepat. aku juga harus lebih responsif. 

Rabu, 20 April 2011

Aku menulis maka aku ada, dari menulis aku jaga Agama

Aku menulis maka aku ada.
Setidaknya bolehlah sedikit merekonstruksi statement mbah Rene Descartes sang filsuf kebangsaan Perancis yang hidup pada abad ke-17 ini. Maklum, ini buka tulisan yang akan didaftarkan dalam perlombaan atau menjadi tugas akhir yang akan dibubuhi balutan koreksi yang cantik oleh dosen Writing saya. Dan...ini bukan tulisan yang akan berkiblat padanya, Rene Descartes. Jadi, saya punya freedom kan mau menulis apa saja! Tak ada inspeksi kan? Namanya menulis ya...menulis. Menurut kamus yang saya (sedang tidak) pegang, menulis itu artinya melahirkan(hah?), ehm, maksudnya melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang dan atau membuat surat dengan tulisan.
Akan tetapi, menulis yang saya maksud di sini bukan menulis surat cinta alias surat cerita indah yang sementara yah...mending sibuk baca surat-Nya daripada nulis atau baca yang satu itu, ya nggak? Di sini saya ingin menguras sedikit-demi sedikit pentingnya menulis dalam taraf tulisan ilmiah yang Islami. Oh iya, perlu kita camkan baik-baik sebelum menelusuri kata-kata yang akan saya taburkan di bawah ini yakni menulis itu memang penting, sangat penting. Okelah... besok kan deadline, jadi nulis itu penting, banget malah!Pertarungan hidup dan mati! Unbelievable A or miserable E! Eits, gak gitu donk, maksudnya jangan dibawa ke situ lah... Emang penting sih di saat yang satu itu, tapi itu rahasia antara kita dan guru atau dosen kita. Biar Allah dan kita yang tahu. Hehe. Baiklah, Anda pasti akrab dengan sebuah kitab yang penuh mahabbah dan pesan-pesan mahabbah di dalamnya. Lagi-lagi bukan surat cinta ya, atau katakanlah surat cinta...tapi bukan yang ecek-ecek seperti yang lumrah ditemukan itu. Ini adalah kitabullah, untaian firman-Nya yang murni dan akan terjaga sepanjang masa. Sebagaimana yang saya jaring dari situs Ma’had Salafiyah Pasuruan bahwa dalam Islam, budaya tulis-menulis adalah hal yang sudah tertanam dalam tubuh masyarakat Arab dan telah ada sejak sebelum diutusnya Rasulullah Shallallaahu’alaihi wasallam, artinya, ketika Islam telah dikenalkan, telah disambut oleh minat tulis-menulis yang tinggi. Hasilnya, dalam artikel di situs tersebut menuliskan bahwa Rasulullah menyiapkan 60 sekrestaris pribadi yang diantaranya 40 sekretaris yang selalu berjaga-jaga untuk menyambut wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Kemudian terjadi perkembangan dari penulisan mushaf yang terpisah-pisah menjadi mushaf yang komplit dan teratur yang dinamai mushaf Imami. Dan mushaf inilah yang akhirnya diedarkan hingga saat ini. Coba Anda bayangkan jika aktivitas penulisan tak pernah dikenal, paling tidak anda harus ikhlas kerepotan dalam mengenal Islam, agama kita, sebab harus menemui orang yang mampu menghafalkan al Quran dan mendiktekannya kepada kita dan kita akan ‘terpaksa’ menghafalkan semuanya yang kemungkinan akan segera kita lupakan, dan sebagainya dan seterusnya, dan....intinya cukup tidak bisa terbayangkan bagaimana jadinya tanpa ‘menulis’. Maha Suci Allah akan karunia tulisan dan kemampuan menulis ini. Akan tetapi, wallahua’lam, tentunya Allah mempunyai cara lain untuk menyampaikan hidayah keIslaman kepada untuk hamba-hamba-Nya.
Berikutnya, pasti kita tidak asing dengan dinasti Abbasiyah, yakni dinasti yang bisa dikaitkan dengan gelar peradaban emas yang salah satunya ditandai dengan kemajuan bidang ilmu pengetahuan yang melahirkan tokoh-tokoh ternama antara lain Al Kindi dan Abu Nasr al-Faraby, walaupun akhirnya peradaban ini runtuh karena sebab yang cukup krusial yang tidak akan saya tuliskan di sini. Peradaban ini ditandai dengan minat penulisan yang sangat besar, kontras dengan keadaan dinasti Umayyah saat itu, dimana khalifah al Ma’mun dengan senang hati memberikan upah 500 dinar kepada setiap penerjemahan, termasuk menerjemah dari buku-buku Eropa dan Afrika. Patut diketahui bahwa tradisi intelektual dan budaya riset telah menjadi selimut kehidupan masyarakat saat itu, dan hal ini didukung pula oleh kebijakan politik pemerintah yang tidak segan-segan menyediakan sarana bagi pelaku-pelaku aktivitas keilmuan tersebut. Hasilnya berdampak pada kemajuan ilmu pengetahuan yang tentunya, perlu ditekankan, senantiasa bersandar pada Al Qur’an dan sunnah. Semua ini tentunya berhubungan dengan penulisan, ya, lagi-lagi menulis.
Sedangkan tulis-menulis mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke 19, yakni sejak masuknya Islam ke Indonesia. Kedua nama penulis yang ternama pada masa tersebut yakni Syekh Nawawi Banten dan Khotib at-Turmusi, yang dikenal dari kitab-kitab yang ditulisnya yang sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami orang awam. Karya-karya besar Syekh Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya terpola dari Mesir, terbagi ke dalam tujuh kategori, yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang mampu ditulisnya ke dalam beberapa kitab, kecuali bidang tafsir yang ia tulis dalam satu kitab. Berangkat dari zaman ini, Indonesia menampakkan diri sebagai negeri penulisan dan negerinya para penulis, walaupun tidak dipungkiri bahwa ia masih tergolong kurang produktif dibanding negara-negara lain yang juga negara yang dihuni penulis handal. adalah sebagian penulis muslim Indonesia yang masih produktif dari beberapa penulis muslim Indonesia lainnya.
Penting untuk disadari, budaya tulis-menulis adalah budaya kita, budaya umat Islam sejak dahulu. Jika kita mengenal KH. Musthafa Bisri, M.H. Ainun Najib, dan Agus Musthafa di Indonesia, atau mungkin Harun Yahya yang merupakan tokoh dari Turki, bukankah mereka dikenal lewat tulisan? Lantas, siapakah berikutnya?Anda?Saya? Kita?
Aku menulis maka aku ada, kita menulis maka kita ada, dari menulis kita kenal agama, dari menulis kita menjaga Agama, dan dari menulis kita pertahankan eksistensi kita. InsyaAllah.



Sabtu, 26 Februari 2011

takusahadajudul

aku bukannya takut meninggalkan kenangan, namun kenangan itulah yang kularang untuk meninggalkanku. seperti semua mimpi-mimpi masa depanku yang sampai saat ini masih mengatupkan mulutnya kepada manusia, termasuk kedua orangtuaku.
apa yang ingin kuceritakan pada yang mengeja huruf-huruf ini bukanlah kisah seorang sukses yang berangkat dari nol dan tanpa membawa apa-apa, tapi ini adalah curhat umum. ya, benar, ini adalah curhat umum. yakni ketika hati masih membayangkan mimpi tentang suatu saat nanti sang penulis bisa berkumpul bersama keluarga. ya, sekali lagi, benar. bagi sang penulis, berkumpul dengan keluarga adalah mimpi yang sangat memanjakan imajinasi. yakni mimpi bahwa suatu saat nanti, saat membuka pintu rumah dan menemukan ayah, ibu, kakak, paman, dan bibi, dari pihak ayah maupun ibu, berkumpul dalam satu ruangan...serta kakek dan nenek menyambut lalu sang penulis mendengarkan nasihat dari mereka... meskipun statement ini, adalah berkemungkinan nol. Kakek dan nenek dari pihak ayah dan ibu telah meninggal. beberapa tahun lalu yang aku telah lupa jika harus menuliskan angkanya. keluarga yang lainnya masih lengkap, namun semuanya telah tersebar. ada yang merantau hingga ke negeri seberang.
tiba-tiba saja mimpi itu ada...
bertemu dengan saudaraku, yang hanya setahun 2 kali, sejak beberapa tahun yang lalu...
dan keluargaku yang tak lagi pernah kusenyumi satu-persatu sejak 3 tahun yang lalu...
dan seorang sahabat yang tak lagi kutahu kabarnya sejak 5 tahun yang lalu...(mungkin ia tak lagi mengingat 24 September 2006)



Bintang pun menceburi mimpimu,
saat lelap menyelimutimu
dan kau melihat wajahnya tersenyum
dan tangannya gugup menggenggam angin,
menanyainya akanmu,

Sabtu, 05 Februari 2011

"Pitau" Nama Pematang Sawah Itu

Written by Adamry Muis 

Ri Sulawesi, mana' mita galung temmaka loang...
Paggalunna maka roa, pole tassiddi kampong...
Sebuah petikan lirik lagu dari tanah bugis, yang jika didalami arti dan maknaya maka akan terbaca sebuah gambaran menarik tentang fenomena SAWAH dan PETANI di kepulauan Sulawesi. Sejatinya memang hamparan sawah dan dunia bertani di Sualwesi bukanlah sesuatu yang sangat susah untuk ditemukan.. bahkan didaerah jalan utama poros Sulawesi yang menghubungkan beberapa provinsi serta kabupaten hamparan sawah masih menjadi pemandangan yang sangat menarik, menariknya bukan berarti tidak adanya "perkembngan" dalam pembangunan tapi lebih ke kemampuan serta kesadaran para masyarakat untuk tetap memelihara kultur yang ada namun tetap menjadikan pembangunan di daerah sebagai suatu keharusan.Maka aku bangga jadi anak desa di salah satu pinggiran Sulawesi..

Hiruk pikuk kehidupan kota memang sering membuat kita merasa terpasung dalam suatu dimensi waktu dan kondisi tertentu, merasa jenuh atas rutinitas keseharian dan kadang pola kehidupan yang hadir sendirinya memancing suatu keinginan untuk lepas dari pasungan tersebut. Bagi kita yang sejak lahir dan sampai sekarang ini berada dalam kondisi seperti itu haruslah bertanya dalam hati, bahwa adakah suatu tempat yang lebih bijak dalam memaknai hidup ketimbang suatu tempat yang menyediakan segalagalanya yang diinginkan..??, dan juga buat kita yang lahir dan besar di daerah pedesaan dan sekarang berada disuatu tempat yang berlebel kota perlu juga mempertanyakan bahwa tidak terbersitkah dalam diri kita sebuah “kerinduan” akan suasana masa kecil di daerah pedesaan yang kadang memanggil kita untuk menyambanginya..?

Desa pada dasarnya identik dengan hal hal yang bersifat klasik dan jauh dari kemajuan pembangunan, hamparan sawah, jalanan tak beraspal, serta SDM yang tersedia masih sangat terbatas dalam segala hal. Ketika kolam renang sudah menjadi pilihan, mereka masih berkutat dengan sungai-sungai yang menawarkan kemungkinan buruk untuk manusia manusia desa itu sendiri.

Namun bagi kami anak anak desa, ada sesuatu yang sangat menyenangkan disana, hamparan hijaunya sawah dan eloknya aliran sungai yang deras menjadi kesenangan tersendiri bagi kami. Ketika kepenatan melanda (meski tak mengenal arti kepenatan), hanya dengan modal kemauan maka kaki kaki kecil kami bergerak, melangkah, berlari, dan seakan terbang bersama canda tawa kawan kawan, menerobos ruang kemacetan yang memang tak kami kenal, melewati segala penghalang kebebasan yang menghadang kami untuk bergerak semau kami.

Rentetan pematang sawah atau yang biasa kami sebut dengan (Pitau)pun menjadi jembatan penghubung setiap kami berlari menuju kesungai tempat rekreasi kami, tak ada yang lebih menyejukkan ketika tiupan tiupan angin melawan arus tubuh kami yang berlarian diatas pitau itu, dan tak hanya tubuh kami yang mereka sejukkan. Padi padi yang berbaris dihamparan hijaunya sawah pun ikut berlari kesana kemari bersama kami.

Pematang sawah yang sejatinya menjadi pembatas dalam petakan sawah, ternyata tak membatasi ruang gerak kami dalam beraktifitas, justru menjadi penyemangat sekaligus jembatan dalam meraih segala hal, memberikan kesejukan ketika kami berdiri dan membentangkan tangan, sehingga menjadikan kami tetap kokoh dalam persahabatan, dan suatu saat kami bermimpi untuk tetap berdiri di atas pitau itu lagi sambil memandang kedepan, tertawa, mengingat masa kecil dipedesaan yang jauh dari romansa kesuntukan.
Impian yang tidak hanya sekedar mimpi dan tidak hanya sekedar harapan tapi menjadi sebuah kewajiban untuk kembali membesarkan kampung halaman, meski jasad tak berpijak disana.

Ku akhiri dengan petikan lirik lagu kebangsaan daerahku..

Wanukkau Sidenreng Rappang..
Wanua ancajiakku, wanua alebbirekku, wanua alebbirekku..
Ri Sidenrengngga' ri pancaji, Ri sidenrengga' ri pawekke..
Mamuare na mannennungeng tuo ku ri Sidenreng Rappang..


Dedicated to My Country : "Kadidi"
(Malang, 290410)