Jumat, 19 November 2010

ketika ia seharusnya dikatakan...

Senja itu dia mengenangnya kembali. Berangsur dia memungut kertas yang terlipat rapi di samping sebuah rak yang berdebu. Jari-jarinya gemetar, ia menggores kertas itu dengan pena kuno yang gagangnya terpahat deretan huruf emboss, “Key”. Sekali-kali ia mengernyit, mencoba mengulang-ulang apa yang akan ditulisnya. Lama, tak ada satu katapun yang keluar. Kertas itu masih kosong.

Ia beringsut. Kursinya sedikit digeser mendekati kusen jendela yang curtain-nya mengepak-ngepak dipermainkan angin. Ia menoleh ke arah pinus yang di sela-selanya jelas terlihat irisan-irisan sinar matahari.  Napasnya diiramakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas hangatnya angin sore menjelajahi paru-parunya. Pena yang ia genggam akhirnya dimain-mainkan. Dengan mereka-reka apa yang akan ditulisnya, pena itupun bergerak-gerak, tapi sekedar menulis di atas angin. Mulutnya ikut-ikutan berkata-kata, lirih. Setelah sibuk melemparkan pandangan pada pinus, lalu langit, ia merombak mimiknya. Matanya agak sedikit membulat dan berbinar, kepalanya sudah terisi ide luar-biasa. Ia menarik kertasnya lagi lalu di atasnya ia meletakkan tangannya yang menggenggam pena. Seperti melakukan aba-aba, ia mencoba menggores kertas lagi. Lama, kertas itu masih kosong.

Pelan-pelan pena yang digenggamnya bergerak. Sudah dua kata yang tergores, “kepada yang...”. Kata itu putus, menggantung. Ia seperti orang dungu saat memandangi kertas panjang itu. Ia kukuh ingin memenuhinya dengan sanjungan dan pujian, yang jika didengarkan maka ingatan pun seolah menanjak ke atas pelangi. Ia ingin menggoreskan denting-denting hujan yang membawanya pada suatu pertemuan yang menjadi sejarah utama dalam hidupnya. Ia ingin menuturkan panjang lebar mengenai suara yang pernah meringkus tubuhnya dalam sebuah alam imajinasi tak terhingga. Ia ingin melukiskan partikel-partikel merah jambu yang sudah menggerogoti salah satu organ tubuhnya, yang membuatnya hilang selera berhari-hari. Ia ingin bernostalgia akan kebahagiaannya yang tak terkata saat serah terima dilangsungkan. Tapi, ia tak bisa. Tetap tak bisa seperti dulu. Tak ada kata yang tepat untuk menjelaskan maksudnya. Ia tidak mau kalau kecerobohannya membawa petaka lagi.

Hening. Tiba-tiba bel berbunyi. Dari jendela yang sebaris dengan pintu, ia melihat seorang bapak paruh baya membuka tas slempang bututnya dengan tergesa-gesa, lalu menyelipkan sekeping amplop di tatakan lampu di samping kanan atas pintu.

Ia beranjak melihat sekilas, lalu berjalan gontai membuka pintu dan menarik surat itu. Ia membalik-baliknya. Tanpa nama pengirim. Wajahnya memasang mimik kesal. Ssrret!!!,  ujung amplop surat itu langsung dirobek, hampir saja lipatan kertas di dalamnya ikut robek. Ia membaca dengan tenang. Lagi-lagi ia bersungut, ah! Tanpa sapaan, tanpa salam, surat macam apa ini!

Setelah matanya menelusuri kata-kata awal dari surat itu, ia tercengang, “ini lebih mirip puisi!”. Namun, belum selesai ia membacanya, ia seolah tersinari keajaiban. Ia langsung berlari ke arah meja kayu jati yang ada di pojok ruang tengah, yang dari tadi ditempati berlaga dengan kata-kata yang tak kunjung keluar. Langsung ia abaikan surat itu, lalu ia sambar pena dan menggores kata demi kata di atas kertas tadi, tanpa henti. Wajahnya terlihat begitu bersemangat, seperti telah menang lotre.

Enam puluh menit berlalu, akhirnya penanya berhenti bergerak. Kertas yang kini penuh goresan dipelototinya berkali-kali. Ah, sumringah wajahnya. Ia begitu puas. Dibaca dan dibaca lagi, ia tak mendapat cela dari susunan kata-katanya. Sangat indah. Senyumnya mengembang, lirih, “ah...pasti dia luluh. Pasti dia mengizinkan aku kembali

Semangat dan keyakinannya benar-benar memuncak.

Tapi, ia cukup penasaran dengan isi surat yang telah memberinya inspirasi itu. Diraihnya lagi dan dibaca.  Kata demi kata.

Tiba-tiba hujan lebat menghantam, disusul petir yang bersahut dengan pepohonan yang bergesekan karena angin kencang. Plakk!!!Pintu jendela menutup tiba-tiba.
Akhir dari surat itu ikut menghantamnya, bukan badannya, tapi lebih parah, hatinya.

mas taufan, tujuan surat ini tak muluk-muluk,
Sekiranya hatimu masih menaruh harap untuk rujuk, maka tidaklah ia berdosa,
Dosamu mungkin hanyalah ketakmampuanmu mengatakan cinta pada tempatnya,
Dan..., sekedar kusampaikan tanpa ada maksud melukai,
Bahwa insyaallah hari senin, minggu depan, aku tak lagi menyandang status “wanita ditinggal cerai”...
Mas harun, sahabat kita sewaktu sekolah dulu, telah resmi meminangku,
Dan kami akan menikah di hari itu...
Kuharapkan kedatanganmu, dengan cinta yang tetap utuh, namun dalam bentuk yang berbeda,

Yang pernah mencintaimu, keyla zahnisa”.

Surat itu jatuh. Sementara kertas yang sudah bertabur kata-kata indah tadi kini tergeletak kusut di atas meja. Jendela di depannya perlahan terbuka. Hujan yang semakin deras memaksa masuk ke dalam. Satu-satu airnya meluncuri kertas tadi, mempermainkan tinta pena yang sudah terukir jadi kata-kata yang usang tak berguna. Tulisan itu telah mati. Seperti kata-kata yang terlalu sulit disampaikan, tak berguna lagi ketika bukan masanya. Lalu kertas itu terbang, yang tersisa tinggal baris-baris tulisan yang luntur, tersapu hujan.

Seperti hatinya...

Ia bergumam,
mengapa dulu aku begitu sulit mengatakan cinta...ketika ia seharusnya dikatakan...





Fitriani Abdurrazaq

"jangan ragu tuk katakan cinta di saat , di tempat, dan kepada siapa yg  ia semestinya dikatakan..."

Sabtu, 13 November 2010

"Fusi" Sang Introvert dengan Sosialisasi Dalam Tinjauan Sederhana (sebuah introspeksi diri)

tulisan ini masih berstatus draft

oleh Fitriani Abdurrazaq

Intensitas menjadi titik pokok, dibubuhi ornamen frase direct audio-visual communication, disertai durasi yang kadang-kadang absurd bin abstrak, adalah tiga divisi baru dalam konstruksi sosialisasi. Namun, apakah lantas(lagi-lagi) kita manut pada konservatisme(baca:kekurang-luasan) konsep ini?, bagaimana nasib beberapa pribadi introvert yang mudah mengidap personality maladjustment ?, apakah lingkungan malah setidaknya menciptakan konfrontasi tersendiri bagi mereka?
nah, sebelum jauh mengawang-awangkan pikiran, mari kita tinjau apa sih makna sosialisasi ?, Sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat dapat menjadi jawaban rasional dari pertanyaan ini. Adapun sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory), imbas dari diajarkannya peran-peran yang harus dijalankan oleh individu dalam roda sosialisasi.
Selain itu, berikut saya kutip beberapa pengertian sosialisasi menurut para ahli;
1. Charlotte Buhler:Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
2. Peter Berger:Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
3. Paul B. Horton:Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
4. Soerjono Soekanto:Sosialisasi adalah proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat yang baru.

Tapi, langkah kita tidak boleh buru-buru, ada sedikit sentilan kolofon natural yang "semi-fardhu" (^_^) untuk diperhatikan, yakni kembali pada Islam(kenapa?, maaf...tak ada kesempatan untuk menjelaskan di sini).Yakni, sosialisasi Islam lebih cenderung mengajarkan kepada umat untuk senantiasa menerapkan budaya-budaya sosial, dan memikirkan kepentingan orang banyak, serta pengembangan dan pemantapan jiwa-jiwa ikhlas bagi umat Islam sendiri menjadi agenda utamanya.

Lanjut...secara general,
Menurut George Herbert Mead, sosialisasi yang dialami seseorang dapat dibedakan dalam tahap-tahap sebagai berikut.
• Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami manusia sejak dilahirkan, ketika seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. Contoh: Kata “makan” yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita. Makna kata tersebut juga belum dipahami dengan tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata “makan” tersebut dengan cara menghubungkannya dengan kenyataan yang dialaminya.
• Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan:Semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa.Mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri dan siapa nama orang tua, kakak, dan sebagainya.Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini.Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan pertahanan diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai (Significant other).

Perhatikan cetak tebal!

lanjutkan bacanya....
bandingkan dengan yang ada di bawah. maka secara abstrak terpaparperbedaan sentuhan keterlibatan pribadi pelaku individu.
Pertama, ia sangat terikat dan tergantung.
Kedua(di bawah tulisan ini), ia memiliki andil dan responsibility maupun hak tersendiri dalam menyelami sosialisasinya.

• Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
• Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas.

Dengan menyentuh bagian permukaan tahap-tahap di atas maka dapat digambarkan sebuah cetak biru, bahwa sosialisasi itu memiliki alur rasional yang bertingkat, yang penerapannya terikat oleh beberapa faktor, antara lain waktu, dan lingkungan.
Tanpa berpanjang lebar, sebagai gabungan makna dan tahap-tahapnya, sosialisasi  lebih cenderung mengajarkan kepada umat untuk senantiasa menerapkan budaya-budaya sosial, dan memikirkan kepentingan orang banyak, berkontribusi bebas(sesuai prinsipnya, dibatasi norma. pent), tanpa menuntut komunikasi langsung(tapi interaksi, dan interaksi ini pun cukup luas). Sebab secara absolut dan tak dapat diabaikan, dunia ini dipenuhi vasiasi personaliti. masing-masing pribadi memiliki kecenderungan tekhnik untuk merepresentasikan potensi dan konsep dirinya dalam sosialisasi. Sebagai salah satu pribadi yang (akan selalu) memiliki eksistensi di dunia ini, seorang introvert yang sebenarnya tidak anti-sosial, namun lebih nyaman dalam ke-sendirian-nya, patut menjadi titik fokus tertentu. Artinya, lingkungan sosialisasi harus menyediakan ruang kondusif bagi para sosialisator introvert agar langkahnya dalam memasuki dunia sosialisasi tidak menjadi kick-off terakhir. Kondisivitas ini juga diperlukan demi terciptanya wadah restitusi(atas prinsipnya) bagi sang sosialisator itu.
namun, patut menjadi perhatian bagi sosialisator agar terhindar dari over-skeptis individu lain, bahwa adalah suatu hal yang cukup esensial untuk mendiagonalkan prinsip selama tidak melanggar norma atau memunculkan mudharat, dan lebih patut lagi untuk menjadi konsiderasi jika diagonalisasi prinsip lebih memicu adanya maslahat(dalam cakupan sosialisasi)

salam sosialisator introvert!

Fitriani Abdurrazaq

13 November 2010

Selasa, 09 November 2010

Aku Ingin Pulang.....

Aku merebahkan kepenatan dalam renungan,
lama...tak menentu...,
sekedar menggantung dalam kebisingan benak
yang tak karuan,
lakon lampau mengambang
di antara kepulan asap hitam,
yang mustahil
berpadu lagi,


di sini,
tak ada yang mau tau,
semua akan acuh...



lalu aku payah...
tiada rasa yang kunyala,
aku ingin tak di sini,

aku ingin pulang.

lama nian tak beranjak,
tubuhku tertancap kaku,
naluriku telah membubung
ke seberang
tepat setelah ode kulepas,
tepat setelah sonata kugubah,

pijakanku basah,
nadiku kelu,
enggan berdenyut,

katahati itu meluncur...

aku ingin pulang...

Sabtu, 06 November 2010

Wanita-wanita Syurga _lanjutan 2_...(a part of Wanita-wanita Syurga Novel...)

Hari minggu pagi. Suasana London sangat pas untuk sekedar berjalan-jalan santai, atau bercengkrama bersama keluarga di taman-taman kota. Tapi aku memilih menelusuri kota, mengunjungi mesjid kesukaanku. Sebuah mesjid yang terletak di sudut kota London, Regent Park Mosque. Mesjid ini selalu ramai dikunjungi warga muslim setiap harinya. Mereka sekedar singgah melepas lelah, liqo’, belajar tajwid, bahkan belajar qira’ah dan menghafal al-Qur’an. Tidak jarang pula mesjid ini menjadi saksi tergenggamnya hidayah oleh seorang yang terpilih oleh Allah untuk menjadi muslim. Hari itu mesjid agak penuh, tapi tetap tenang dan menenangkan hati bagi yang berada di dalamnya. Terlihat di pelatarannya banyak orang berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka ada yang belum berhijab, namun dari dekat jelas aku saksikan tiga wanita bercadar bersama suami mereka. Mereka tampak barsahaja. Tiba-tiba salah satu dari mereka menoleh ke arahku. Sekilas, pandanganku dan pandangan wanita bercadar itu bertemu. “Subhaanallaah… mata biru yang indah. Mata khas bule. Ya, seorang bule, lebih tepatnya wanita calon bidadari syurga.” Hatiku bergumam kagum. Aku memang selalu kagum pada wanita-wanita bercadar yang kerapkali kujumpai itu. Keyakinan mereka sangat teguh. Padahal, begitu banyak kecaman yang tentunya mereka peroleh. Apalagi sebagian besar mereka bukanlah asli Arab, tapi penduduk asli London. Namun keimanan mereka tidak kalah besarnya. Bahkan tidak sedikit yang sudah hafal al-Qur’an secara keseluruhan. Ini tentunya hal yang patut dihargai jika kita adalah seorang muallaf yang baru mengenal Islam. Bagiku sangat luar biasa. Aku terus memandangi wanita berpakaian serba hitam dan bercadar tadi sambil terus bertasbih memuji Allah. Maha Benar Allah dengan segala hidayah-Nya.
Tak lama, terdengar langkah kaki perlahan di belakangku. Seseorang memegangi tanganku. Jelas teraba tangannya yang lembut. Aku berbalik kaget. Ternyata Ukhtee Laila. Dia langsung merangkulku.
“Assalaamu’alaikuum…”
“wa’alaikumussalaam Sista Laila. How are you? Too long we have not met each other.”
“oh… fine, Sista… alhamdulillaah. Bagaimana denganmu?, aku harap kau juga sehat wal ‘afiat.”
“alhamdulillaah sama baiknya saat mulai mengenalmu, Sist. Subhaanallaah ya, Allah mempertemukan kita lagi. Ada agenda apa gerangan hari ini di mesjid?”
Ukhtee Laila semakin merangkulku. Dengan mudah dia melakukan hal itu, sebab tubuhku yang kecil. Aku harus sedikit berusaha untuk dapat berbicara padanya sambil memandang wajahnya. Aku jauh lebih pendek  darinya. Yah, hal yang wajar, karena aku orang Indonesia.
“Benar sekali perkataanmu Sist, Maha Kuasa Allah. Sebenarnya hari ini ada lecture dari Ustadz Mahmoud. Beliau seorang hafidz. Aku sangat senang akan ceramah-ceramah beliau. Kau akan memperoleh banyak hal darinya, dan dari ceramah-ceramahnya. By the way, did you come with your family?”
Aku agak tersentak mendengar ucapan terakhir ukhty Laila, seorang gadis London yang hafidzah itu menanyakan tentang family. Entahlah, family yang mana yang dia maksud.
“family…, what family, Sist? They are in Indonesia.” Tuturku agak gugup.
Laila tertawa kecil. Tampak gigi-gigi mungilnya yang putih teratur. Tawa kecilnya menambah pesona keindahannya. Hari itu dia benar-benar cantik, apalagi dipadu dengan gaunnya yang serasi dengan jilbab yang semuanya berwarna kebiru-biruan. Sangat cantik.
“I think you are out of the topic Sist. Maksud aku, your husband, even your children. Kau tidak mengajak mereka?”
Mata biru itu melekati pandanganku. Sepertinya ukhty Laila menyelidiki ekspresiku. Aku benar-benar gugup. Betapa tidak, itulah hal yang paling sakral namun belum juga kulaksanakan hingga saat usiaku menjelang 25 tahun ini. Menikah. Sudah banyak yang datang, namun di saat yang belum tepat. Saat itu aku masih mencari jati diri. Dan lebih pokoknya, mencari kehidupan yang lebih layak. Saat itu aku diam-diam menaruh ikrar pada sang Ibu dan ayah bahwa, meskipun aku anak perempuan, aku juga ikut bertanggung jawab untuk keluarga. “Aku akan membawa ibu dan ayah ke tanah suci, dari hasil jerih payahku sendiri,” nostalgia itu kembali menyibak ingatanku. Dan, hal itu sudah aku wujudkan. Alhamdulillah semua yang aku janjikan pada keduanya yang mulia itu, telah aku penuhi. Tapi, terkecuali satu hal, menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa menjadi istri yang baik bagi suamiku. Atau, makmum yang baik bagi imamku. Duh, perasaanku kembali teraduk-aduk. Tapi, aku segera bisa menguasainya. Aku buru-buru tersenyum kepada ukhty Laila yang sejak tadi dengan sabarnya menanti jawabanku, kemudian berucap. Pelan.
“hm… sepertinya Allah masih merahasiakannya, ukhty. Allah masih merahasiakan siapa hambanya yang akan menjabat sebagai imam keluarga dalam rumah tanggaku.”
“aku berharap Allah segera menyingkapkan tabirnya untukmu.”
“amiin. Barakallaah.”
“kita masuk ukhtee, lecturenya sudah mau dimulai.”
Ukhtee Laila mengulurkan tangannya padaku. Dia tersenyum. Dan aku menyambutnya. Tangannya terasa lembut tergenggam. Kami jalan beriringan masuk ke mesjid.
Di dalam mesjid sudah banyak akhwat yang duduk membentuk saf-saf. Ukhtee Laila mengisyaratkanku untuk duduk, sedangkan dia mau ambil wudhu dulu. Aku menurut.
Aku duduk di saf paling depan. Mesjid Regent park terdiri dari dua lantai. Para akhwat tempatnya di lantai bawah, jadi saf depan maupun saf belakang sama baiknya. Aku sudah duduk rapi, sambil memandangi desain interior mesjid yang luar biasa. Terlihat langit-langitnya membentuk kubah. Di tengah-tengah kubah terjulur lampu Kristal yang amat cantik, ibaratkan tertata berlian. Di sepanjang dindingnya terukir tulisan kaligrafi. Benar-benar mesjid yang membuatku kagum.
Monitor 40 inci yang ada di depanku menyala, kemudian menayangkan suasana di lantai atas, tempat  ikhwan. Mulai dari jama’ah sampai para panitia ceramah. Yang paling jelas ditayangkan, yaitu yang duduk di saf terdepan. Entahlah ada berapa kamera di atas. aku hanya acuh. pandanganku kembali menelusuri mesjid. Tiba-tiba monitor menayangkan seorang pemuda yang sedang naik ke mimbar. Wajahnya begitu bersinar, dan aku terpana. 

Ah, astaghfirullah… aku tidak boleh begitu...



Wanita-wanita Syurga _lanjutan_...(a part of Wanita-wanita Syurga Novel...)

“Aunt Aesy!, what are you doing?”
Seorang gadis yang akrab dengan panggilan Nanny, putri pemilik rent house yang aku tempati telah berdiri di belakangku. Aku tersenyum. Senyumku agak terpaksa, tapi tak boleh aku tampakkan sedihku padanya. Aku memgatur nafas satu-persatu, kemudian berbalik padanya.
“Oh, Nanny! Kemarilah!”
Gadis kecil itu berhambur ke pelukanku. Rambut pirangnya menutupi wajahku. Terlihat samar-samar bintik-bintik coklat di wajahnya, khas orang Inggris.
“Aunt Aesy, kenapa belum tidur?”
“Nanny sendiri kenapa belum tidur?”
Aku mengembalikan pertanyaannya. Dia melepaskan pelukannya kemudian merapikan rambutnya sambil berkata;
“Nanny sudah disuruh tidur sama Mom Jenny, tapi Nanny tidak bisa tidur. Nanny ingat kakak. Nanny mau ketemu kak Kevin. Aunt Aesy mau temani Nanny mencari Kak Kevin?”
Oh, pertanyaan itu lagi. Nanny sudah berkali-kali memintaku untuk menemaninya mencari orang yang benama Kevin itu. Entah orang itu hanya khayalannya saja atau bagaimana, aku juga tidak tahu. Mungkin itu hanya khayalannya dia. Tapi, matanya terlihat berbinar. Dia jujur.
Lalu terdengar seruan lantang, sumbernya dari lantai bawah. Rent house yang kutempati terdiri dari empat lantai. Pemilik rumah, Jefferson family, tinggal di lantai dasar. Aku menyewa lantai dua. Sebenarnya pada awalnya aku mengincar lantai empat, karena viewnya yang luar biasa, apalagi kalau sore hari dan malam yang cerah. Tapi aku keduluan oleh seorang gadis Amerika, namanya Sameerah Nicole. Dia juga seorang muslimah berjilbab.
“Nanny, it’s your bed time!! I’ll not let you be a sleepy Nanny in your choir class tomorrow!!”
“…”
Tak ada jawaban dari Nanny. Ia hanya mengerdip-ngerdipkan mata. Ia menggigit bibir bawahnya, sedangkan bahunya agak menurun. Ia kesal. Ia berkali-kali berbalik ke pintu rent roomku, yang terhubung dengan tangga ke lantai bawah. Ia menarik nafas lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. Ia berbisik.
“Aunt Aesy, we will find brother Kevin. But, not now. Aku harap Aunt Aesy mau membantuku.”
“ok dear. Don’t worry.” Aku menenangkannya.
“I love you Aunt Aesy!”
“I love you too…my nice Nanny.”
Nanny tersenyum. Gadis 7 tahun itu berlari ke arah tangga. Irama kakinya cepat dan teratur menapaki tiap anak tangga. Tak lama, terdengar suara teguran. Ia dimarahi.
Aku larut dalam iba.
Tapi, sama sepertiku, aku juga punya kesedihan.